Gigi Empat
Ngilu. Ngilu sekali. Ini adalah kopi pertama yang saya minum sejak saya menjalani pembersihan karang gigi tadi sore. Untuk pertama kalinya dalam hidup.
"Bapaknya Sae, ya?"
"Iya, Dokter." Dokter yang saya lupa namanya itu adalah seorang wanita berkerudung yang sangat ramah, edukatif. Tinggal di Citayam. Sae, putri saya, pernah menjadi pasiennya. Terpujilah wahai engkau ibu dokter gigi.
"Oke, Bapak rebahan, kita mulai, ya."
Klinik ini adalah klinik milik gereja Bethel dekat rumah. Menerima pasien BPJS. Ini untuk kedua kalinya saya menggunakan BPJS sejak bergabung beberapa tahun lalu. Rugi kah? Tidak. Saya pernah menyaksikan seorang sahabat kena sakit berat dan pembiayaannya ditanggung BPJS. Karena saya selalu membayar setiap bulan, saya merasa ikut membantu orang lain yang sakit di negara ini. Ribuan pulau tergabung menjadi satu, sebagai ratna mutu manikam.
BPJS adalah salah satu cara hidup bersama di republik ini. Ia tidak hanya fungsional, tapi juga ideologis. "Hidup bersama harus dijaga". Demikian Iwan Fals menyanyikan lirik Rendra di "Kesaksian", lagu yang dimulai dengan intro piano Jockie Surjoprajogo yang puitis mengintimidasi. Ada di album Kantata Takwa, salah satu album musik terbaik yang pernah saya dengarkan.
"Ngilu ya, Pak?" Proses sudah berjalan. Saya tak bisa mundur lagi. Hiatttttttt!!!
"Grghgrgh...."
"Soalnya karang giginya banyak sekali. Bayangkan aja, Pak, sudah di sana seumur hidup Bapak." Oh, memalukan.
"Grghgrgh....Grghgrgh...."
Beberapa tahun lalu, saya pernah mencabutkan gigi ke dokter gigi. Berisiknya sama dengan pembersihan karang ini. Suasana di dalam mulut ramai. Jauh dari kendali saya. Rasanya seperti sebuah tempat pengerjaan barang-barang furnitur pindah secara paksa dengan kekuatan hukum lebih dari tetap ke dalam mulut saya. Saya beberapa kali berpikir, masih akan bergigikah saya sepulang dari sini? Akan dikemanakan muka ini jika ternyata tidak? Ah, pasrah. Masih hidup saja sudah syukur. Ganteng, lagi. Bagaimana tidak pasrah?
"Saya bersihin yang sebelah kanan, ya. Bapak ngunyah pake bagian kiri, ya?" Saya merespons. "Yang kanan kotor banget." Saya mencoba membelalakkan mata. Sia-sia. "Soalnya kalau kita kunyah makanan, ada proses self-cleansing di sana. Nanti kunyah makanan gantian aja kiri dan kanan. Supaya jangan kotor sebelah."
Saya bersyukur punya inisiatif menjalani pembersihan karang gigi. Menunjukkan bahwa saya bersyukur masih punya gigi. Gigi itu penting. Bayangkan seorang penyanyi yang selalu tersenyum lebar sepanjang lagu seperti Louis Armstrong tidak punya gigi. Atau Luis Suarez. Kata orang, mata itu jendela hati. Buat saya, gigi salah satu jendela raga. Kalau orang ompong? Itu jendela sejati.
"Bernapas pakai hidung ya, Pak," kata asisten dokter yang membantu memegangkan sebuah alat yang entah apa di dalam mulut saya. "Supaya lidahnya jangan bergerak maju. Supaya airnya juga gak ketelan."
Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering tidak sadar apakah sedang bernapas dengan hidung atau mulut. Di bawah sinar lampu sorot, saya berusaha bernapas dengan hidung. Anggap saja ini latihan. Siapa tahu latihan ini berguna saat saya nyanyi lagu country, sebab salah satu filosofi dasar musik country adalah "diciptakan dengan hati, disampaikan melalui hidung". Howdy!
Proses yang entah berlangsung berapa lama itu akhirnya selesai juga. Lega. "Odolnya boleh Bapak bawa pulang." Saya merasa semakin ganteng, dan berjanji akan lebih sering tersenyum. Senyum tanpa rem. Ngebut. Kencang. Sampai gigi empat.
Comments
Post a Comment