Lompong Cama
Kami sound check di Lapangan Motang Rua, Ruteng, sekitar jam 2 sore pada 6 April yang cerah. Angin di Ruteng nyaris selalu dingin dan sore itu pun demikian. Banyak cara melawan dingin di Ruteng. Kami memilih salah satu cara, yang mungkin tidak perlu saya ceritakan di sini.
Saat saya dan band Ponggo's Squad mulai memburu sound masing-masing, Yoliz, gitaris, belum mendapatkan ampli. Band ini memang tidak biasa komposisinya. Termasuk saya, ada tiga gitaris. Kami bertiga main elektrik, jadi perlu ampli, tidak maksimal jika satu di antara kami hanya menggunakan DI box. Kami coba memainkan beberapa lagu. Saya merasa sound system enak.
Saat semua sudah menemukan sound masing-masing, kami mencoba memainkan "Lompong Cama". Saat mendekati bagian akhir lagu, ketika sampai pada lirik "lonto cama weta nara", saya berhenti nyanyi karena tiba-tiba ingin menangis. Entah mengapa, akhir-akhir ini, bagian itu selalu menyentuh saya lebih dari bagian lain di lagu itu, bahkan dibandingkan dengan bagian "lako tadang kawe mose", apalagi "rengit sa'i kanang bara".
Lompong cama adalah kegiatan makan bersama, dan sejauh yang saya pahami dan jiwai, kegiatan makan bersama bagi orang Manggarai adalah peristiwa penting yang selalu romantis. Lompong cama dapat menjadi cara menunjukkan rasa saling sayang dan berbagi kehangatan jiwa, bisa menjadi alat untuk bersiap secara moral mengawali satu potong kehidupan, dan dapat juga menjadi kesimpulan sebuah hari.
Saat tampil pada malam harinya, saya memang tidak menyanyikan bagian kecil tertentu pada beberapa lagu, dan itu murni karena lupa lirik. Menurut saya, kejadian lupa lirik pada sebuah malam di Ruteng dapat ditentukan oleh bagaimana cara seorang penyanyi melawan dingin pada sore hari hingga sesaat sebelum pentas. Iya, to? Dan cara melawan dingin yang kami tempuh mungkin tidak perlu saya ceritakan di sini kepada kamu, kamu dan juga kamu. Tos!
"Lompong Cama" adalah lagu yang sudah lama saya ciptakan. Lebih dari sepuluh tahun yang telah lalu, dan saya lupa apakah tercipta pada suatu pagi yang cerah atau tidak. Progresi chord-nya umum saja: I-IIIm-IV-V, dengan modulasi pada bagian refrein, tetap dengan progresi yang sama. Cuma ada bagian semacam jembatan antarbait yang pada versi aslinya dinyanyikan Edel Jenarut.
Di Matraman, Jakarta, pernah ada sebuah warung makan khas NTT bernama Lompong Cama. Pemiliknya adalah Om Kanys Leten dan istrinya, wanita hebat Agustina L Katharina Hamboer. Selain karena masakannya enak, tempat itu juga menarik karena Glentoz Sareng bekerja di sana. Nama warung itu dan bayangan akan situasinya menginspirasi saya menulis lagu itu. Seingat saya, "Lompong Cama" sudah jadi sebuah file mp3 dengan aransemen lengkap dan diputar di Lompong Cama bahkan sebelum saya menginjakkan kaki di sana. Bayangkan! Menginjakkan kaki saja belum, apalagi membenturkan kepala. Lagipula apa perlunya membenturkan kepala? Memang kepala saya sendiri, tapi apakah perlu dibenturkan? Apa faedahnya? Di warung makan? Di depan orang banyak?
Saat itu, lebih dari sepuluh tahun yang telah lalu itu, saya tidak pernah setersentuh saat sound check sore itu oleh lirik "lonto cama weta nara". Menurut saya, hubungan weta-nara bagi orang Manggarai sangat khusus, bahkan saat hanya sebagai hubungan darah saja, saat masih belum menghasilkan hubungan turunannya berupa konsep sida, anak rona, atau amang dan inang.
Ya, begitulah, sebuah lagu menyajikan rasa baru pada setiap tambahan waktu yang diberikan Tuhan kepada dunia dan manusia. Dan semoga kegiatan lompong cama tetap kita sukai dan cintai. Dan resapi. Dengan penuh rasa hormat: pada rejeki, pada persaudaraan, pada kebersamaan, pada kehidupan.
Tautan video di bawah ini adalah penampilan kami membawakan "Lompong Cama" di Motang Rua, salah satu tempat paling bersejarah dalam hidup saya sebagai musisi. Terima kasih untuk adik tersayang Ronald Djeer yang mengabadikan penampilan kami dengan kamera ponselnya.
Ponggo's Squad dipimpin PapaNada Ramlan Ponggo, seorang multi-intumentalis yang pada malam itu bermain bass. Dan seperti pandangan umum yang mengatakan bahwa seorang pemain bass menentukan kualitas sebuah band, saya sangat bersyukur beliau yang main bass, walau saya tetap lebih mengaguminya sebagai seorang gitaris. Personil lainnya adalah Patrick Ngadut dan Yoliz Ibo, dua gitaris yang berbeda karakter dan dengan demikian membuat kaya band itu secara musikal. Pemain keyboard adalah Icen Mitak. Mainnya enak. Dan yang memegang groove dengan baik pada drum bernama Ronny, yang bukan Pattinasarany. Atau Wabia. Atau Paslah. Penyanyi latar adalah Enu Ivan yang belum pernah saya dengar suara merdunya sebelumnya dan Enu Verawaty Cangkung, salah satu penyanyi yang disukai istri saya dan saya.
Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan kesempatan tampil di Motang Rua lagi. Saya ingat dengan baik sebuah hari pada tahun 1991, saat saya dan Robertus Ronny Brusen berdiri dan bernyanyi di sana, di samping Mekas Petrus Djeer, manusia yang paling saya kagumi, di atas panggung yang dibangun di bagian barat lapangan, menghadap rumah jabatan bupati.
Menyanyi di Motang Rua terasa lebih dalam dan enak dibanding saat saya tampil di kota lain di mana saja di dunia ini. Dari semua yang dapat saya ingat dari penampilan kami 6 April lalu itu, satu hal yang saya sesali: saya dan Ponggo's Squad tidak sempat lompong cama, lonto cama sebagai ase ka'e dan weta nara. Mungkin karena kami lebih berkonsentrasi melawan dingin.
Menutup tulisan ini, ada satu pesan terakhir: kalau wicul, jangan buru-buru ke apotek. Coba dulu atasi dengan welu tapa, harta budaya kita sendiri. Dan saat menghadapi kesulitan dalam menjalani kehidupan, jangan menyerah. Anak Rastamangga pantang menyerah.😀
https://youtu.be/QQvvGr_5DFg
https://youtu.be/QQvvGr_5DFg
Comments
Post a Comment