Pohon Asam
Saya menempuh pendidikan menengah pertama di Seminari Kisol pada 1986-1989. Selama itu, saya sering ke kota Borong bersama teman-teman pada hari Minggu. Jalan kaki, bukan naik delman. Tidak turut ayah. Kan tinggal di asrama. Lagipula tidak ada delman di sana.
Biasanya kami memotong jalan melalui bukit hutan dan akan tiba di sebuah kampung bernama Tanggo. Kalau uang cukup, kami membeli pisang di pinggir jalan di kampung itu. Sebelum sebuah jalan menurun masuk ke kota Borong, kami biasanya berhenti melepas lelah. Di kanan jalan itu ada pohon asam yang entah sejak kapan ada di situ, tumbuh kokoh pada bibir tebing yang cukup curam. Saya pernah memanjatinya, sekadar untuk memberitahu diri sendiri bahwa saya mungkin jagoan dan pemberani. Dari situ laut Borong keliatan. Pulau Mules membiru di kejauhan. Indah sekali.
Pada sebuah sore di bulan Juni 2008, untuk pertama kali saya datang ke Kampung Tugu. Diajak Mas Ages Dwiharso, untuk bergabung dengan Krontjong Toegoe. Hari sudah gelap saat saya dan Mas Ages sampai. Latihan sudah dimulai, di beranda belakang rumah tua. Suasana sangat musikal. Nada-nada memenuhi langit, dan truk-truk besar di samping rumah diam mendengarkan. Saya dipersilakan duduk. Membaca situasi, mendengarkan musik sambil melepas lelah setelah naik motor lebih dari 30 kilometer. Kilometer saja, bukan persegi.
Di dekat situ, di belakang rumah tua itu, ada sebuah pohon asam, yang entah sejak kapan ada di situ, tinggi dan kokoh. Saya mendengarkan musik keroncong yang dimainkan teman-teman. Dari situ tentu saja kota Borong tidak kelihatan, apalagi Pulau Mules yang membiru. Jauh, Bro. Salah satu lagu yang dimainkan saat itu adalah "Stambul Baju Biru", lagu yang sangat saya sukai. Itu lagu yang sudah cukup berumur, jauh lebih tua dari partai politik berwarna biru.
Dulu, banyak orang tua yang suka menyanyikan lagu keroncong di Ruteng. Waktu menjadi pengiring koor wilayah 5 Paroki Cewonikit, saya sering diminta mengiringi beberapa anggota koor menyanyikan lagu-lagu keroncong di sela-sela latihan koor. Saya mengiringinya dengan pola keroncong yang berbeda dengan pukulan keroncong di Tugu. Saat di Ruteng itu, keroncong yang saya tahu adalah keroncong gaya Solo, gaya trulungan. Gaya yang berbeda dengan keroncong yang ada di Tugu. Pada suatu malam hiburan rakyat di Ruteng, saya pernah begitu terpesona melihat dan mendengarkan Om Men Ontol bermain bass. Ia sekaligus memainkan bass dan ketukan cello dengan gaya pukulan cello keroncong. Sejak saat itu saya sering coba memainkan pola itu pada gitar.
"Loe ke mana aja, ratusan tahun ga pernah ikut latihan," kata Bung Arthur, pemain bass, pada kesempatan pertama menyapa saya. Saya merasa diterima sebagai orang Tugu. Merasa dianggap bagian dari sejarah kampung itu. Mungkin saya hanya geer. Tidak apa-apa, toh nama belakang saya Djeer.
Keroncong dimainkan di Kampung Tugu sejak abad ke-17, oleh orang-orang keturunan Portugis yang dibuang ke Batavia sejak Portugis dikalahkan Belanda di Malaka. Mereka adalah tawanan yang kemudian dibebaskan dan disebut Mardijkers, orang-orang yang dimerdekakan. Sejak saat itu keroncong terus hidup dan berkembang hingga kini menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia. Apakah karena ia adalah kekayaan Indonesia, lalu pemusik-pemusik keroncong diperhatikan pemerintah? Hehehe. Oh ya, di album terbaru Krontjong Toegoe ada sebuah lagu indah berjudul "Mardijkers". Sudah tersedia di toko-toko musik digital. Pergilah ke sana dan dengarkan, dan boleh sambil makan manisan asam di dalam plastik bening kecil. Ditaburi gula pasir, seperti dulu dijual di toko Nona Luang dan Baba Tosing di Ruteng.
Saya punya abang sepupu yang sudah meninggal. Namanya Wilhelmus. Dia tinggal dengan keluarga kami di Ruteng sejak kecil, dan kami menganggapnya sebagai anak sulung di keluarga kami. Dia lebih galak dari Bapa. Abang saya ini tinggal dan bekerja di Cikarang sebelum meninggal. Dia pandai memasak sayur asam. Beberapa kali dia menelepon saya pada tengah malam untuk menanyakan kabar dan meminta saya ke Cikarang. Untuk apa? Untuk makan sayur asam. Hah? Saya bukan penggemar sayur asam, terlalu banyak macam isinya. Dan Cikarang jauh, kan?
Sebagai perantauan dari tanah jauh, boleh dikatakan saya sudah banyak makan asam garam kehidupan. Ehm. "Makan asam garam" itu kiasan. Tentu saja kita tidak bisa menambah pengalaman hanya dengan makan asam dicampur garam. Saya tidak bisa dikatakan jago main gitar hanya karena saya lancar menggunakan istilah-istilah terkait gitar atau baru saja membeli gitar mahal. Tidak bisa juga saya disebut sederhana hanya karena saya miskin.
Pohon asam dikatakan berasal dari Afrika. Nama latinnya adalah tamarindus indica. Sering juga disebut kurma India. Manfaat daun dan buahnya banyak, bisa dicari di perpustakaan, eh, internet. Tetapi paling umum, pohon asam berfungsi sebagai pohon perindang. Saya selalu suka kota yang memilih pohon asam sebagai perindang jalan. Seperti Solo. Kota yang indah.
Begitulah, di Krontjong Toegoe, tahun-tahun berlalu di bawah pohon asam belakang rumah tua itu. Pada tahun-tahun awal saya bergabung, kami bercerita tentang musik, harapan dan cita-cita di bawah pohon asam di belakang rumah tua itu. Termasuk juga membahas lagu-lagu yang akan dibawakan di Istana Negara dalam rangkaian santap siang bersama Presiden Brasil saat itu, Luiz Inácio Lula da Silva. Nama yang indah, terutama bagian Inácio-nya. Itu tahun pertama saya bergabung.
Seiring berlalunya waktu, pohon asam itu terus bertahan di sana, menyimpan semua cerita suka dan duka yang kami lalui pada waktu-waktu yang tak akan kembali lagi. Sebagian cerita kehidupan adalah tentang hal-hal yang hampir tidak kita sadari kehadirannya sampai saat mereka pergi, selamanya.
Lagu "Pohon Asam" (Krontjong Toegoe)
Comments
Post a Comment