Krontjong Toegoe di Malaka
Jam 6 sore kurang sedikit, Krontjong Toegoe harus berhenti sound check, karena misa di kapel di dalam kompleks Medan Portugis sudah dimulai. Sabtu yang indah di kampung Portugis di Malaka, kira-kira dua setengah jam perjalanan dengan bus dari Kuala Lumpur. Saya dan Eko, pemain cello kami, tidak ikut misa itu, karena berencana untuk misa pada Minggu pagi esoknya.
Hotel Temasek, tempat kami menginap terletak tidak jauh dari lokasi acara Festa de San Pedro, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh komunitas keturunan Portugis di Malaka untuk menghormati San Pedro (Santo Petrus), yang merupakan santo pelindung para nelayan. Hingga pertengahan abad yang lalu, orang-orang keturunan Portugis di Malaka sebagian besar bekerja sebagai nelayan, dan nyaris semua orang dewasa di daerah itu terlibat dalam industri perikanan.
Cara hidup masyarakat di sini sejak jaman Portugis tetap terjaga dengan baik. Pemerintah mendukung hal itu. Dapat saya katakan, pemerintah Malaysia bisa menjaga keberagaman di dalam masyarakatnya. Dan Malaysia itu negara yang bersih, tidak ada sampah yang berserakan di tempat yang tidak seharusnya. Setidaknya itu yang saya saksikan sepanjang perjalanan sejak mendarat di Kuala Lumpur kemarin siang. Mungkin itu karena mereka punya sifat menjaga. Keberagaman terjaga, kebersihan juga. Mungkin.
Dari hotel kami melewati jalan d' Albequerque, lalu setelah hanya beberapa meter melewati jalan Texeira, kami bisa melihat Patung Kristus Raja yang merupakan semacam ikon di daerah perkampungan Portugis yang terletak di pinggir pantai itu.
Paginya, kami menjadi peserta acara Komunitas Portugis Asia di hotel Temasek, sekaligus menjadi pengisi acara. Kami senang sekali, dan rasa enak di hati mungkin setara berlibur di rumah nenek. Senang sekali.
Setelah sound check yang harus berhenti di tengah jalan itu, saya dan Iwan, fotografer kami, berkeliling di sekitar kompleks. Kami menyaksikan banyak perahu nelayan yang didandani dengan bendera Malaysia dan bendera Malaka, serta dihiasi gambar-gambar orang kudus dalam tradisi Katolik. Ada gambar Bunda Maria, Santo Petrus yang sedang memegang kunci surga, serta Bapa Yosef, tokoh alkitab yang paling saya kagumi, dalam jubah Fransiskan sedang menggendong bayi Yesus. Sangat Yosef, sangat Fransiskan.
Saya ingat rumah, karena rumah kami selalu dikunjungi frater-frater Fransiskan yang tinggal di biara dekat rumah. Rumah kami sekarang juga sangat berwarna karena banyak saudara sedang menginap, hal yang membuat kaki saya berat melangkah keluar rumah saat berangkat ke sini, ke tanah nenek moyang saudara-saudara di Krontjong Toegoe, tempat mereka hidup sebelum dikalahkan Belanda, dibawa ke tanah Batavia, dibuang ke Tugu, tempat mereka melahirkan genre musik yang sekarang dikenal sebagai keroncong.
Puas keliling dan foto-foto, kami pulang ke hotel. Arthur, teman sekamar saya, mandi setelah tidur sebentar, dan saya tidak. Mungkin kami berbeda pendapat soal apakah mandi itu sangat penting. Oh ya, setelah sound check tadi sore, Bung Andre, komandan kami, membawakan kami durian Musang King yang terkenal itu, yang dagingnya berwarna jingga. Rasanya sangat enak, rasa yang membuat saya tidak peduli dengan musik dan gitar. Persetan!
Perjalanan dari hotel ke venue lumayan menguras keringat saya, dan itu mungkin saja ada hubungannya dengan mandi atau tidaknya saya sebelum berangkat. Persetan. Di pinggir jalan, berderet rumah-rumah penduduk dengan salib tergantung di atas pintu, menghadap jalan. Jalan apa? Jalan Texeira. Saya ingat Ruteng, tapi saya tidak yakin apakah kerinduan itu terbit karena salib-salib itu atau karena melihat pemandangan itu: orang-orang bermain kartu di depan rumah.
Sampai lokasi, saya beli es krim, yang dalam bahasa Inggris ice cream, dan yang menurut saya bahasa Indonesianya harusnya krim es. Rasanya tidak semanis di Indonesia, tetapi enak sekali. Mungkin karena saya sudah belasan tahun minum kopi tanpa gula, jadi semua hal yang kurang manis baik-baik saja untuk saya. Termasuk sound yang kurang memuaskan. Termasuk kehidupan juga, mungkin. Putri saya pernah meminta saya untuk serius menilai apa saja, jadi tidak semua hal itu baik. "Supaya aku mengerti nilai, Pa," katanya. Benar juga, sih. Oke, Anak. Oh ya, Anda sekalian masih minum kopi pakai gula? Buat apa? Supaya kadar gula tinggi, kah? Oh, oke.
Kami naik panggung jam 10 malam. Saya dipercaya memberikan kata sambutan, mungkin karena teman-teman tahu saya suka berbicara di panggung. Sambil menunggu semua alat hidup, saya menjelaskan bagaiama kami senang "kembali" ke Malaka, sebab nenek moyang teman-teman saya di grup ini adalah orang-orang Portugis yang tinggal di Malaka lalu dibawa ke Batavia oleh Belanda yang mengalahkan Portugis. Dibuang ke Tugu dan "started a musical genre we call keroncong." Ini juga untuk menyatakan sikap soal pendapat lain yang menyatakan bahwa keroncong berasal dari Malaka. Keroncong itu berasal dari Tugu . Dan saya tidak terlalu panas dan pula tidak sampai hati mengatakan bahwa saya penggemar Messi, bukan Ronaldo, di hadapan orang-orang yang sangat Portugis. Hehehe.
Penampilan kami berjalan sangat baik. Memang baik, bukan karena saya tidak punya nilai-nilai dan karena itu menganggap semua hal baik. Miguel, mantan ketua perkumpulan Portugis di Malaka ikut menari bersama istrinya. Beberapa penonton lain juga berjoget dengan senang. Turun panggung, ada yang membeli cd Dan mengatakan bahwa dia suka hal-hal berbau Indonesia. Dia merokok Gudang Garam, dan Adrian, salah satu personel kami tega meminta satu batang dari dua batang terakhir dari bungkus yang mungkin terakhir itu, sebab "di sini susah dapat rokok ini".
Kami ingin bersenang-senang hingga keseluruhan acara selesai, tetapi memutuskan untuk pulang ke hotel dulu untuk menyimpan alat-alat musik. Kami belum makan malam, dan saya ingin makan daging babi yang diberi judul pork chop. Saya yakin tidak akan ada sayur kol. Persetan. Lagipula, itu bukan pasangannya, kan?
Sebenarnya masih banyak yang saya ingin ceritakan, tetapi niat untuk menayangkan tulisan ini sebelum tengah malam membuat saya memotong saja cerita ini. Tengah malam waktu Jakarta. Di sini sudah lewat tengah malam, dan zona waktu di sini satu jam di depan Jakarta. Jadi, Surabaya menerima sinar matahari jauh lebih dulu, tetapi waktunya di belakang Malaka. Unik, kan?
Menutup tulisan ini, saya menyatakan bahwa pork chop saya sudah datang, dan, eh, ada sayur kolnya.
Hotel Temasek, tempat kami menginap terletak tidak jauh dari lokasi acara Festa de San Pedro, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh komunitas keturunan Portugis di Malaka untuk menghormati San Pedro (Santo Petrus), yang merupakan santo pelindung para nelayan. Hingga pertengahan abad yang lalu, orang-orang keturunan Portugis di Malaka sebagian besar bekerja sebagai nelayan, dan nyaris semua orang dewasa di daerah itu terlibat dalam industri perikanan.
Cara hidup masyarakat di sini sejak jaman Portugis tetap terjaga dengan baik. Pemerintah mendukung hal itu. Dapat saya katakan, pemerintah Malaysia bisa menjaga keberagaman di dalam masyarakatnya. Dan Malaysia itu negara yang bersih, tidak ada sampah yang berserakan di tempat yang tidak seharusnya. Setidaknya itu yang saya saksikan sepanjang perjalanan sejak mendarat di Kuala Lumpur kemarin siang. Mungkin itu karena mereka punya sifat menjaga. Keberagaman terjaga, kebersihan juga. Mungkin.
Dari hotel kami melewati jalan d' Albequerque, lalu setelah hanya beberapa meter melewati jalan Texeira, kami bisa melihat Patung Kristus Raja yang merupakan semacam ikon di daerah perkampungan Portugis yang terletak di pinggir pantai itu.
Paginya, kami menjadi peserta acara Komunitas Portugis Asia di hotel Temasek, sekaligus menjadi pengisi acara. Kami senang sekali, dan rasa enak di hati mungkin setara berlibur di rumah nenek. Senang sekali.
Setelah sound check yang harus berhenti di tengah jalan itu, saya dan Iwan, fotografer kami, berkeliling di sekitar kompleks. Kami menyaksikan banyak perahu nelayan yang didandani dengan bendera Malaysia dan bendera Malaka, serta dihiasi gambar-gambar orang kudus dalam tradisi Katolik. Ada gambar Bunda Maria, Santo Petrus yang sedang memegang kunci surga, serta Bapa Yosef, tokoh alkitab yang paling saya kagumi, dalam jubah Fransiskan sedang menggendong bayi Yesus. Sangat Yosef, sangat Fransiskan.
Saya ingat rumah, karena rumah kami selalu dikunjungi frater-frater Fransiskan yang tinggal di biara dekat rumah. Rumah kami sekarang juga sangat berwarna karena banyak saudara sedang menginap, hal yang membuat kaki saya berat melangkah keluar rumah saat berangkat ke sini, ke tanah nenek moyang saudara-saudara di Krontjong Toegoe, tempat mereka hidup sebelum dikalahkan Belanda, dibawa ke tanah Batavia, dibuang ke Tugu, tempat mereka melahirkan genre musik yang sekarang dikenal sebagai keroncong.
Puas keliling dan foto-foto, kami pulang ke hotel. Arthur, teman sekamar saya, mandi setelah tidur sebentar, dan saya tidak. Mungkin kami berbeda pendapat soal apakah mandi itu sangat penting. Oh ya, setelah sound check tadi sore, Bung Andre, komandan kami, membawakan kami durian Musang King yang terkenal itu, yang dagingnya berwarna jingga. Rasanya sangat enak, rasa yang membuat saya tidak peduli dengan musik dan gitar. Persetan!
Perjalanan dari hotel ke venue lumayan menguras keringat saya, dan itu mungkin saja ada hubungannya dengan mandi atau tidaknya saya sebelum berangkat. Persetan. Di pinggir jalan, berderet rumah-rumah penduduk dengan salib tergantung di atas pintu, menghadap jalan. Jalan apa? Jalan Texeira. Saya ingat Ruteng, tapi saya tidak yakin apakah kerinduan itu terbit karena salib-salib itu atau karena melihat pemandangan itu: orang-orang bermain kartu di depan rumah.
Sampai lokasi, saya beli es krim, yang dalam bahasa Inggris ice cream, dan yang menurut saya bahasa Indonesianya harusnya krim es. Rasanya tidak semanis di Indonesia, tetapi enak sekali. Mungkin karena saya sudah belasan tahun minum kopi tanpa gula, jadi semua hal yang kurang manis baik-baik saja untuk saya. Termasuk sound yang kurang memuaskan. Termasuk kehidupan juga, mungkin. Putri saya pernah meminta saya untuk serius menilai apa saja, jadi tidak semua hal itu baik. "Supaya aku mengerti nilai, Pa," katanya. Benar juga, sih. Oke, Anak. Oh ya, Anda sekalian masih minum kopi pakai gula? Buat apa? Supaya kadar gula tinggi, kah? Oh, oke.
Kami naik panggung jam 10 malam. Saya dipercaya memberikan kata sambutan, mungkin karena teman-teman tahu saya suka berbicara di panggung. Sambil menunggu semua alat hidup, saya menjelaskan bagaiama kami senang "kembali" ke Malaka, sebab nenek moyang teman-teman saya di grup ini adalah orang-orang Portugis yang tinggal di Malaka lalu dibawa ke Batavia oleh Belanda yang mengalahkan Portugis. Dibuang ke Tugu dan "started a musical genre we call keroncong." Ini juga untuk menyatakan sikap soal pendapat lain yang menyatakan bahwa keroncong berasal dari Malaka. Keroncong itu berasal dari Tugu . Dan saya tidak terlalu panas dan pula tidak sampai hati mengatakan bahwa saya penggemar Messi, bukan Ronaldo, di hadapan orang-orang yang sangat Portugis. Hehehe.
Penampilan kami berjalan sangat baik. Memang baik, bukan karena saya tidak punya nilai-nilai dan karena itu menganggap semua hal baik. Miguel, mantan ketua perkumpulan Portugis di Malaka ikut menari bersama istrinya. Beberapa penonton lain juga berjoget dengan senang. Turun panggung, ada yang membeli cd Dan mengatakan bahwa dia suka hal-hal berbau Indonesia. Dia merokok Gudang Garam, dan Adrian, salah satu personel kami tega meminta satu batang dari dua batang terakhir dari bungkus yang mungkin terakhir itu, sebab "di sini susah dapat rokok ini".
Kami ingin bersenang-senang hingga keseluruhan acara selesai, tetapi memutuskan untuk pulang ke hotel dulu untuk menyimpan alat-alat musik. Kami belum makan malam, dan saya ingin makan daging babi yang diberi judul pork chop. Saya yakin tidak akan ada sayur kol. Persetan. Lagipula, itu bukan pasangannya, kan?
Sebenarnya masih banyak yang saya ingin ceritakan, tetapi niat untuk menayangkan tulisan ini sebelum tengah malam membuat saya memotong saja cerita ini. Tengah malam waktu Jakarta. Di sini sudah lewat tengah malam, dan zona waktu di sini satu jam di depan Jakarta. Jadi, Surabaya menerima sinar matahari jauh lebih dulu, tetapi waktunya di belakang Malaka. Unik, kan?
Menutup tulisan ini, saya menyatakan bahwa pork chop saya sudah datang, dan, eh, ada sayur kolnya.
Comments
Post a Comment