Tak Ada Gading yang Tak Retak
Tadi saya naik kereta, turun di Kalibata. Lalu naik ojek menuju tempat ngamen, dengan hati senang. Pertama, tidak macet. Kedua, tukang ojek ramah sekali. Dia sesekali bersiul. Saya selalu suka orang yang bersiul saat bekerja.
Sepanjang perjalanan dia banyak cerita soal telapak tangannya yang sering berkeringat secara berlebihan. Saya juga cerita soal tangan saya yang terlampau kering dan nyaris tidak pernah berkeringat, hal yang membuat jari licin, sehingga saya selalu menjilat jari saya supaya basah, agar pick gitar tidak jatuh.
Saya suka tukang ojek ini. Dia bekerja dari pagi, tapi kebugaran fisik dan mood-nya seperti orang yang baru keluar rumah setelah sebelumnya mandi dan makan kenyang. Seorang pejuang yang mencintai pekerjaan. Saya selalu bahagia bisa bertemu dengan jenis orang seperti ini: sebagai penghibur hati dan sumber pelajaran hidup.
Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Saya sangat tersiksa dengan helm yang saya pakai. Bagian depannya sangat turun, posisinya sampai di bawah alis mata saya. Tersiksa, kan? Saya selalu menarik bagian belakangnya ke bawah, supaya bagian depannya terangkat dan pas di dahi saya. Tetapi selalu jatuh dan jatuh lagi. Aduh.
Sangat mengecewakan, tetapi saya tetap memakainya karena saya tahu helm itu sangat berharga untuk keselamatan, tidak kalah berharganya dibanding gading. Saya sebetulnya harus bersyukur, sebab memakai helm tukang ojek menunjukkan bahwa saya naik ojek. Kan tidak mungkin saya pakai helm tukang ojek dan saya tidak naik ojeknya, atau malah jalan kaki. Jalannya cepat, lagi. Singgah di warung, lagi. Dan naik ojek menunjukkan bahwa saya punya uang untuk membayar ongkos. Kan tidak mungkin saya naik begitu saja, memakai helm, lalu turun dan menyuruh tukang ojek segera pergi, kalau boleh jalannya cepat, jangan singgah di warung.
Saya memang bersyukur, sih. Tapi helm ini memang menyiksa. Sering sekali saya memutuskan memegangnya saja agar bagian depannya tidak turun ke alis mata saya, dan dalam posisi begitu saya pasti kelihatan seperti orang sedang berpose. Iya, berpose. Bayangkan. Di atas ojek, berpose tanpa ada yang memotret.
Walau helm itu tetap saja berguna dan seberharga gading, saya sering berdoa dalam hati, Tuhan, maaf, saya memang kurang bersyukur, tapi helm ini adalah gading yang sangat retak. Sangat retak, Tuhan. Sangat retak.
Oh ya, mungkin Anda ingin tahu kenapa saya tidak memberikan tanda kutip pada doa yang saya ucapkan di dalam hati di atas. Itu karena hal yang dipikirkan memang tidak diberi tanda kutip. Itu aturan penulisannya, setahu saya. And I think to myself, what a wonderful world. See?
Sepanjang perjalanan, saya terus berbagi cerita dengan tukang ojek itu. Walau sering harus memegangi helm, saya senang juga karena tukang ojek itu berbicara dengan jelas, sehingga saya tidak harus susah payah mencoba nyambung, yang hanya akan menambah penderitaan.
Saya memang bersyukur, sih tetapi helm yang menyiksa itu memang sering membuat saya ingin cepat sampai di tujuan, dengan sikap jiwa "kalau boleh, biarlah cawan ini berlalu...".
Sepanjang perjalanan dia banyak cerita soal telapak tangannya yang sering berkeringat secara berlebihan. Saya juga cerita soal tangan saya yang terlampau kering dan nyaris tidak pernah berkeringat, hal yang membuat jari licin, sehingga saya selalu menjilat jari saya supaya basah, agar pick gitar tidak jatuh.
Saya suka tukang ojek ini. Dia bekerja dari pagi, tapi kebugaran fisik dan mood-nya seperti orang yang baru keluar rumah setelah sebelumnya mandi dan makan kenyang. Seorang pejuang yang mencintai pekerjaan. Saya selalu bahagia bisa bertemu dengan jenis orang seperti ini: sebagai penghibur hati dan sumber pelajaran hidup.
Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Saya sangat tersiksa dengan helm yang saya pakai. Bagian depannya sangat turun, posisinya sampai di bawah alis mata saya. Tersiksa, kan? Saya selalu menarik bagian belakangnya ke bawah, supaya bagian depannya terangkat dan pas di dahi saya. Tetapi selalu jatuh dan jatuh lagi. Aduh.
Sangat mengecewakan, tetapi saya tetap memakainya karena saya tahu helm itu sangat berharga untuk keselamatan, tidak kalah berharganya dibanding gading. Saya sebetulnya harus bersyukur, sebab memakai helm tukang ojek menunjukkan bahwa saya naik ojek. Kan tidak mungkin saya pakai helm tukang ojek dan saya tidak naik ojeknya, atau malah jalan kaki. Jalannya cepat, lagi. Singgah di warung, lagi. Dan naik ojek menunjukkan bahwa saya punya uang untuk membayar ongkos. Kan tidak mungkin saya naik begitu saja, memakai helm, lalu turun dan menyuruh tukang ojek segera pergi, kalau boleh jalannya cepat, jangan singgah di warung.
Saya memang bersyukur, sih. Tapi helm ini memang menyiksa. Sering sekali saya memutuskan memegangnya saja agar bagian depannya tidak turun ke alis mata saya, dan dalam posisi begitu saya pasti kelihatan seperti orang sedang berpose. Iya, berpose. Bayangkan. Di atas ojek, berpose tanpa ada yang memotret.
Walau helm itu tetap saja berguna dan seberharga gading, saya sering berdoa dalam hati, Tuhan, maaf, saya memang kurang bersyukur, tapi helm ini adalah gading yang sangat retak. Sangat retak, Tuhan. Sangat retak.
Oh ya, mungkin Anda ingin tahu kenapa saya tidak memberikan tanda kutip pada doa yang saya ucapkan di dalam hati di atas. Itu karena hal yang dipikirkan memang tidak diberi tanda kutip. Itu aturan penulisannya, setahu saya. And I think to myself, what a wonderful world. See?
Sepanjang perjalanan, saya terus berbagi cerita dengan tukang ojek itu. Walau sering harus memegangi helm, saya senang juga karena tukang ojek itu berbicara dengan jelas, sehingga saya tidak harus susah payah mencoba nyambung, yang hanya akan menambah penderitaan.
Saya memang bersyukur, sih tetapi helm yang menyiksa itu memang sering membuat saya ingin cepat sampai di tujuan, dengan sikap jiwa "kalau boleh, biarlah cawan ini berlalu...".
Comments
Post a Comment