Krontjong Toegoe di Ranah Minang
Kami main di Pacific Indian Ocean Music Fest di Padang Sabtu malam, 26 Oktober. Sejak mendarat pagi sehari sebelumnya, di pinggir jalan-jalan di kota Padang tidak ada penjual durian. Sama sekali. Saya gelisah dan agak malu pada diri sendiri bahwa yang saya gelisahkan justru durian, bukan sound system, bukan panggung, bukan alat-alat musik. Mungkin karena saya percaya saja bahwa kami akan tampil mantap. Teman-teman lain tidak mempermasalahkan absennya durian di kota Padang. Sama sekali.
Dan betul. Penampilan kami cukup sesuai dengan harapan. Harapan siapa? Harapan kami, tentu saja. Kalau ada yang berharap kami tampil spektakuler dengan cara melompat-lompat gila hingga buka baju dan terjun dari panggung, terserah. Tidak kami lakukan! Persetan. Salah satu bukti yang saya serahkan pada diri sendiri soal penampilan kami adalah kenyataan bahwa saya menikmati pertunjukan kami hingga tidak berpikir soal durian. Sama sekali.
Hari Minggu pagi kami berangkat, singgah di sebuah pasar besar untuk mencari kertas rokok untuk saya. Penjual tembakau ternyata tidak berjualan pada hari Minggu pagi yang sendu dan berawan itu. Tapi ada jalan keluar. Coba tanya di pasar Indarung, dekat Semen Padang, usul beberapa penjual di pasar itu. Satu yang saya perhatikan adalah semua yang saya tanyai soal tembakau menjawab dengan ramah, penuh niat membantu. Luar biasa. Merasa sesama sekali, merasa sebangsa sekali.
Ahai! Di Indarung ada penjual tembakau. Saya beli kertas tembakau secukupnya, dua bungkus tembakau dalam kemasan, dan hampir satu ons tembakau kasar. Dalam perjalanan memburu tembakau itu, Arend terus mengambil video saya dari belakang. Iya lah, dari belakang, masa dari depan. Kan dia bisa terantuk, menabrak gerombolan telur atau ikan, atau jatuh menimpa bumbu dapur. Dan getirnya adalah kalau dia jatuh, saya mungkin akan tertawa dan tidak menolong. Sama sekali.
Keluar dari pasar Indarung, seorang anak lelaki, mungkin anak penjual tembakau, menyusul kami untuk menanyakan nama kanal YouTube kami. Dia tahu bahwa pembelian tembakau itu akan masuk dalam sebuah vlog. Luar biasa. Kekinian sekali.
Saya sempat singgah di sebuah toko untuk membeli dua buah kue pia dari jenis yang di Ruteng disebut tacopiang, dulu lebih sering disebut tajupiang. Saya kurang tahu namanya yang betul. Jujur, soal kue ini saya lebih suka versi yang diproduksi di Ruteng. Tetapi yang saya beli di Indarung itu juga enak. Enak sekali.
Kami meneruskan perjalanan. Tujuannya adalah kota Sawahlunto. Sepanjang perjalanan, saya selalu menengok ke pinggir jalan. Pada sebuah pasar, pasar kaget saya kira, saya melihat sebuah tumpukan, dan yakin itu durian. Terlihat bulat-bulat dan hijau dari kejauhan. Semakin mendekat dan oh, itu labu. Persetan dengan labu! Persetan. Saya jengkel sekali.
Beberapa kali kami melihat durian tetapi mobil sedang melaju sangat kencang. Saya tidak ingin meminta Bang Novri, driver, untuk berhenti lalu mundur. Bagaimanapun, saya harus menjaga nama baik Katolik. Saya ingin tampil baik di depan teman-teman yang umumnya Kristen, dan dua kawan yang Islam. Soal agama ini, Bung Andre, komandan kami pernah bilang, "Rasis banget, sih! Dari kemarin Lu!" Bung Andre adalah seorang pria Kristen yang baik, di dalam maupun di luar gereja. Ganteng pula. Dan baik sekali.
Dalam perjalanan itu, kami semua juga aktif mencari tempat yang mungkin cocok untuk mengambil gambar untuk klip video sebuah lagu kami yang berjudul "Kisah Kecil di Pematang Sawah". Tentu saja pemandangan durian tidak relevan dengan kebutuhan gambar. Iya, kan? Dalam hati saya dilanda kebingungan: lebih mengharapkan durian atau sawah. Saya malu pada diri sendiri bahwa harapan untuk berhenti makan durian lebih besar daripada menemukan lokasi dengan sawah yang indah, yang sesuai dengan yang kami mau. Padahal di lagu dimaksud itu, sayalah vokalisnya. Malu sekali.
Beberapa persawahan terlihat indah, tetapi banyak bangunan rumah di sekitarnya, yang tidak sesuai dengan keadaan sawah Opa Kornelis Lawang dulu di Ruteng sebagai sumber inspirasi utama penciptaan lagu "Kisah Kecil" itu. Lalu sekonyong-konyong kami melihat sebuah persawahan yang indah dan cocok untuk pengambilan gambar. Senang sekali.
Kami turun dari mobil, dan luar biasanya adalah kami melihat sebuah sungai yang sangat bersih di dekat situ. Kami turun ke sungai dan mengambil gambar secukupnya. Saya ingin buka baju dan terjun saja ke dalam sungai kalau tidak ingat bahwa saya harus menjaga nama baik. Nama baik apa? Tahu, kan? Pengambilan gambar di sungai itu berlangsung seru dan meriah sekali.
Kami balik ke persawahan. Oh ya, sawah itu terletak di daerah Guguk Sarai, Kabupaten Solok, di samping sebuah rumah penduduk. Kami mengambil gambar dan Bung Andre masuk ke dalam untuk numpang toilet. Rupanya terjadi percakapan antara beliau dengan ibu pemilik rumah. Isi percakapan itu mengubah suasana hati saya dengan drastis. Sang Ibu menawarkan kami singgah dulu di rumahnya. Singgah untuk apa? Untuk makan durrrrrian, Saudara-saudara! Hidup yang indah sekali.
Sebelum makan durian, kami bikin video sebuah lagu bersama tuan rumah. Lagu apa itu? Bisa dilihat di kanal YouTube Krontjong Toegoe. Kalau belum ada, tunggu saja. Dalam waktu dekat akan diunggah. Tibalah acara utama: makan durian. Saya lupa jumlah tepatnya, dibawa ke teras rumah pakai karung. Durian-durian itu adalah yang jatuh dari pohon di kebun keluarga yang baik itu sehari sebelumnya. Dari sekian banyak buah, tidak ada yang gagal secara rasa. Puas sekali.
Kami melanjutkan perjalanan dengan hati riang gembira. Masuk Sawahlunto, kami dijemput sahabat-sahabat yang kami anggap saudara, Yogi dan Syukri. Kami makan siang enak. Bang Ibeng Pamungkas juga datang menemui kami siang itu. Kami lalu berangkat Bukit Kandi, bekas tambang yang dijadikan taman buah atas prakarsa almarhum Pak Amran Noor, walikota dua periode sebelum sekarang. Walikota yang visioner sekali.
Dalam perjalanan ke Bukit Kandi, jujur saya masih ingin makan durian lagi. Tetapi harapan lainnya adalah melihat pohon yang kami tanam enam tahun lalu. Sudah sebesar apa? Kangen. Di samping pohon-pohon itu, pada tahun 2013, ada papan yang dipaku pada tiang, bertuliskan nama kami masing-masing. Satu personel dapat satu pohon untuk ditanam sendiri. Sampai di sana, kami masuk. Semua pohon masih ada dan sudah tinggi, kecuali pohon saya. Dia tidak ada di sana lagi. Saya cukup sedih. Ada yang hilang di dalam diri. Teman-teman mencoba menghibur saya dengan sabar dan dalam nada mengejek sekali.
Rencana awal kami selain melihat pohon-pohon itu adalah mengambil gambar video untuk lagu lainnya. Ternyata Bukit Kandi telah berubah menjadi tempat bertamasya yang hebat dan bahkan selalu ada live music di situ pada hari Minggu. Jadi kami batal mengambil gambar di danau di Bukit itu. Saya sempat memungut beberapa buah markisa yang jatuh ke tanah, memakannya dan rasanya enak sekali.
Di dekat Bukit Kandi ada sebuah danau lainnya yang akhirnya jadi tempat kami mengambil gambar untuk klip video. Suasananya tenang sekali. Hanya terdengar suara burung-burung dari udara dan suara monyet-monyet di pinggir hutan yang ternyata jumlahnya banyak sekali. Untuk saat itu, karena masih sedih dengan wafatnya pohon saya, saya lebih merasa terhibur mendengar suara monyet-monyet itu daripada suara orang. Sungguh. Terhibur sekali.
Pengambilan gambar selesai, lalu kami pulang dan singgah di Bukit Cemara di bawah hujan. Ingin ngopi, tapi sudah agak malam, jadi tukang kopi sudah tutup. Dari bukit itu terlihat Kota Sawahlunto dalam pelukan malam. Indah. Indah sekali.
Lalu kami pulang ke hotel, makan, mandi dan sempat ngobrol-ngobrol dengan Bang Tatang, Bang Paul, juga Bang Syukri dan Bang Yogi, tentu saja. Banyak sekali harapan mereka tentang Sawahlunto, kota yang didirikan di atas tanah yang menyimpan batubara yang menyebabkan tidak adanya pom bensin di dalam kota. Banyak yang sudah mereka kerjakan untuk mengejar kemajuan. Hebat sekali.
Dalam cuaca cukup dingin, kami lalu menuju warung Mas Eko, penjual teh talua (teh telur) yang legendaris itu. Di situ sudah banyak teman-teman berkumpul, siap untuk bernyanyi bersama. Mbah Bud, sahabat kami, membawa singkong goreng yang sedap rasanya. Kami nyanyi-nyanyi hingga hampir tengah malam dalam suasana kekeluargaan, suasana yang tidak mungkin dibeli dengan uang. Kami lalu pulang ke hotel dalam keadaan riang sekali.
Sayang kalau langsung tidur. Iya, kan? Kami lalu berkeliling-keliling di satu sisi kota yang sudah lelap itu. Di pinggir jalan tidak ada durian. Tidak apa-apa. Saya sempat bikin foto di depan gereja Katolik Santa Brigita dan heran karena saya lupa berfoto di depan patung Bunda Maria di samping gereja itu. Umat Katolik adalah minoritas di Sawahlunto, dan kota itu sangat toleran. Saya tidak hidup di Ruteng, kampung halaman saya di NTT, tetapi saya selalu berharap umat beragama di sana juga hidup berdampingan dengan baik, seperti di Sawahlunto. Kalau saudara-saudara dari Sawahlunto berkesempatan jalan-jalan ke Ruteng, mereka bisa melihat masjid besar di Kumba, dan terutama masjid lama yang di tengah kota, yang lebih bersejarah. Hidup bersama itu enak. Dan catat ini: Ruteng juga kota yang indah sekali.
Kami baru tidur jauh lewat tengah malam. Tempat kami tidur adalah penginapan milik pemerintah daerah, terletak di belakang hotel Ombilin yang bersejarah itu. Tempatnya nyaman dan terletak tidak jauh dari Lapangan Segitiga (Lapseg), yang bolehlah dianggap sebagai alun-alun kota. Saya tidur dalam rasa syukur untuk kehidupan. Nyenyak sekali.
Bangun pada Senin yang mendung, saya dan Bung Andre menuju Silo. Di samping kompleks yang ikonik itulah berdiri rumah Mbah Bud, bangunan sederhana yang bersuasana musikal dan persaudaraan mewah. Kami ngopi di situ, dan tidak lama kemudian teman-teman yang lain menyusul. Karena mereka tahu tempatnya dengan baik, mereka tidak nyasar, dong. Ehm. Kami ngobrol-ngobrol cukup lama, lalu pulang ke penginapan, berganti pakaian lalu menuju Gudang Ransum, bangunan bersejarah itu. Lagi-lagi untuk pengambilan video untuk lagu kami yang lain lagi. Pengambilan video berjalan seru sekali.
Setelah berpamitan, kami pulang. Meninggalkan kota indah dan bersejarah yang nyaman, yang kami anggap sebagai kampung halaman kedua setelah Kampung Tugu. Kota arang yang selalu memanggil pulang, kota asal pahlawan nasional Muhammad Yamin, orang yang membuat kita, dari Sabang sampai Merauke berbahasa satu, bahasa Indonesia. Dan kami pulang tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda. Enak di hati. Enak sekali.
Hanya beberapa menit keluar dari kota, ada penjual durian di lokasi yang sama dengan saat kami singgah makan durian pada tahun 2013. Duriannya masih sama rasanya: sedap. Dan setelah makan durian itu, saya merasa tidak ada lagi hal penting yang dapat saya ceritakan. Sebab apa? Kan sudah makan durian. Satu yang pasti, kami akan selalu rindu pulang ke Sawahlunto. Rindu sekali.
Oh ya, perjalanan kami di Ranah Minang bisa disaksikan di tautan ini: https://youtu.be/KT_AwbLhH18.
Dan betul. Penampilan kami cukup sesuai dengan harapan. Harapan siapa? Harapan kami, tentu saja. Kalau ada yang berharap kami tampil spektakuler dengan cara melompat-lompat gila hingga buka baju dan terjun dari panggung, terserah. Tidak kami lakukan! Persetan. Salah satu bukti yang saya serahkan pada diri sendiri soal penampilan kami adalah kenyataan bahwa saya menikmati pertunjukan kami hingga tidak berpikir soal durian. Sama sekali.
Hari Minggu pagi kami berangkat, singgah di sebuah pasar besar untuk mencari kertas rokok untuk saya. Penjual tembakau ternyata tidak berjualan pada hari Minggu pagi yang sendu dan berawan itu. Tapi ada jalan keluar. Coba tanya di pasar Indarung, dekat Semen Padang, usul beberapa penjual di pasar itu. Satu yang saya perhatikan adalah semua yang saya tanyai soal tembakau menjawab dengan ramah, penuh niat membantu. Luar biasa. Merasa sesama sekali, merasa sebangsa sekali.
Ahai! Di Indarung ada penjual tembakau. Saya beli kertas tembakau secukupnya, dua bungkus tembakau dalam kemasan, dan hampir satu ons tembakau kasar. Dalam perjalanan memburu tembakau itu, Arend terus mengambil video saya dari belakang. Iya lah, dari belakang, masa dari depan. Kan dia bisa terantuk, menabrak gerombolan telur atau ikan, atau jatuh menimpa bumbu dapur. Dan getirnya adalah kalau dia jatuh, saya mungkin akan tertawa dan tidak menolong. Sama sekali.
Keluar dari pasar Indarung, seorang anak lelaki, mungkin anak penjual tembakau, menyusul kami untuk menanyakan nama kanal YouTube kami. Dia tahu bahwa pembelian tembakau itu akan masuk dalam sebuah vlog. Luar biasa. Kekinian sekali.
Saya sempat singgah di sebuah toko untuk membeli dua buah kue pia dari jenis yang di Ruteng disebut tacopiang, dulu lebih sering disebut tajupiang. Saya kurang tahu namanya yang betul. Jujur, soal kue ini saya lebih suka versi yang diproduksi di Ruteng. Tetapi yang saya beli di Indarung itu juga enak. Enak sekali.
Kami meneruskan perjalanan. Tujuannya adalah kota Sawahlunto. Sepanjang perjalanan, saya selalu menengok ke pinggir jalan. Pada sebuah pasar, pasar kaget saya kira, saya melihat sebuah tumpukan, dan yakin itu durian. Terlihat bulat-bulat dan hijau dari kejauhan. Semakin mendekat dan oh, itu labu. Persetan dengan labu! Persetan. Saya jengkel sekali.
Beberapa kali kami melihat durian tetapi mobil sedang melaju sangat kencang. Saya tidak ingin meminta Bang Novri, driver, untuk berhenti lalu mundur. Bagaimanapun, saya harus menjaga nama baik Katolik. Saya ingin tampil baik di depan teman-teman yang umumnya Kristen, dan dua kawan yang Islam. Soal agama ini, Bung Andre, komandan kami pernah bilang, "Rasis banget, sih! Dari kemarin Lu!" Bung Andre adalah seorang pria Kristen yang baik, di dalam maupun di luar gereja. Ganteng pula. Dan baik sekali.
Dalam perjalanan itu, kami semua juga aktif mencari tempat yang mungkin cocok untuk mengambil gambar untuk klip video sebuah lagu kami yang berjudul "Kisah Kecil di Pematang Sawah". Tentu saja pemandangan durian tidak relevan dengan kebutuhan gambar. Iya, kan? Dalam hati saya dilanda kebingungan: lebih mengharapkan durian atau sawah. Saya malu pada diri sendiri bahwa harapan untuk berhenti makan durian lebih besar daripada menemukan lokasi dengan sawah yang indah, yang sesuai dengan yang kami mau. Padahal di lagu dimaksud itu, sayalah vokalisnya. Malu sekali.
Beberapa persawahan terlihat indah, tetapi banyak bangunan rumah di sekitarnya, yang tidak sesuai dengan keadaan sawah Opa Kornelis Lawang dulu di Ruteng sebagai sumber inspirasi utama penciptaan lagu "Kisah Kecil" itu. Lalu sekonyong-konyong kami melihat sebuah persawahan yang indah dan cocok untuk pengambilan gambar. Senang sekali.
Kami turun dari mobil, dan luar biasanya adalah kami melihat sebuah sungai yang sangat bersih di dekat situ. Kami turun ke sungai dan mengambil gambar secukupnya. Saya ingin buka baju dan terjun saja ke dalam sungai kalau tidak ingat bahwa saya harus menjaga nama baik. Nama baik apa? Tahu, kan? Pengambilan gambar di sungai itu berlangsung seru dan meriah sekali.
Kami balik ke persawahan. Oh ya, sawah itu terletak di daerah Guguk Sarai, Kabupaten Solok, di samping sebuah rumah penduduk. Kami mengambil gambar dan Bung Andre masuk ke dalam untuk numpang toilet. Rupanya terjadi percakapan antara beliau dengan ibu pemilik rumah. Isi percakapan itu mengubah suasana hati saya dengan drastis. Sang Ibu menawarkan kami singgah dulu di rumahnya. Singgah untuk apa? Untuk makan durrrrrian, Saudara-saudara! Hidup yang indah sekali.
Sebelum makan durian, kami bikin video sebuah lagu bersama tuan rumah. Lagu apa itu? Bisa dilihat di kanal YouTube Krontjong Toegoe. Kalau belum ada, tunggu saja. Dalam waktu dekat akan diunggah. Tibalah acara utama: makan durian. Saya lupa jumlah tepatnya, dibawa ke teras rumah pakai karung. Durian-durian itu adalah yang jatuh dari pohon di kebun keluarga yang baik itu sehari sebelumnya. Dari sekian banyak buah, tidak ada yang gagal secara rasa. Puas sekali.
Kami melanjutkan perjalanan dengan hati riang gembira. Masuk Sawahlunto, kami dijemput sahabat-sahabat yang kami anggap saudara, Yogi dan Syukri. Kami makan siang enak. Bang Ibeng Pamungkas juga datang menemui kami siang itu. Kami lalu berangkat Bukit Kandi, bekas tambang yang dijadikan taman buah atas prakarsa almarhum Pak Amran Noor, walikota dua periode sebelum sekarang. Walikota yang visioner sekali.
Dalam perjalanan ke Bukit Kandi, jujur saya masih ingin makan durian lagi. Tetapi harapan lainnya adalah melihat pohon yang kami tanam enam tahun lalu. Sudah sebesar apa? Kangen. Di samping pohon-pohon itu, pada tahun 2013, ada papan yang dipaku pada tiang, bertuliskan nama kami masing-masing. Satu personel dapat satu pohon untuk ditanam sendiri. Sampai di sana, kami masuk. Semua pohon masih ada dan sudah tinggi, kecuali pohon saya. Dia tidak ada di sana lagi. Saya cukup sedih. Ada yang hilang di dalam diri. Teman-teman mencoba menghibur saya dengan sabar dan dalam nada mengejek sekali.
Rencana awal kami selain melihat pohon-pohon itu adalah mengambil gambar video untuk lagu lainnya. Ternyata Bukit Kandi telah berubah menjadi tempat bertamasya yang hebat dan bahkan selalu ada live music di situ pada hari Minggu. Jadi kami batal mengambil gambar di danau di Bukit itu. Saya sempat memungut beberapa buah markisa yang jatuh ke tanah, memakannya dan rasanya enak sekali.
Di dekat Bukit Kandi ada sebuah danau lainnya yang akhirnya jadi tempat kami mengambil gambar untuk klip video. Suasananya tenang sekali. Hanya terdengar suara burung-burung dari udara dan suara monyet-monyet di pinggir hutan yang ternyata jumlahnya banyak sekali. Untuk saat itu, karena masih sedih dengan wafatnya pohon saya, saya lebih merasa terhibur mendengar suara monyet-monyet itu daripada suara orang. Sungguh. Terhibur sekali.
Pengambilan gambar selesai, lalu kami pulang dan singgah di Bukit Cemara di bawah hujan. Ingin ngopi, tapi sudah agak malam, jadi tukang kopi sudah tutup. Dari bukit itu terlihat Kota Sawahlunto dalam pelukan malam. Indah. Indah sekali.
Lalu kami pulang ke hotel, makan, mandi dan sempat ngobrol-ngobrol dengan Bang Tatang, Bang Paul, juga Bang Syukri dan Bang Yogi, tentu saja. Banyak sekali harapan mereka tentang Sawahlunto, kota yang didirikan di atas tanah yang menyimpan batubara yang menyebabkan tidak adanya pom bensin di dalam kota. Banyak yang sudah mereka kerjakan untuk mengejar kemajuan. Hebat sekali.
Dalam cuaca cukup dingin, kami lalu menuju warung Mas Eko, penjual teh talua (teh telur) yang legendaris itu. Di situ sudah banyak teman-teman berkumpul, siap untuk bernyanyi bersama. Mbah Bud, sahabat kami, membawa singkong goreng yang sedap rasanya. Kami nyanyi-nyanyi hingga hampir tengah malam dalam suasana kekeluargaan, suasana yang tidak mungkin dibeli dengan uang. Kami lalu pulang ke hotel dalam keadaan riang sekali.
Sayang kalau langsung tidur. Iya, kan? Kami lalu berkeliling-keliling di satu sisi kota yang sudah lelap itu. Di pinggir jalan tidak ada durian. Tidak apa-apa. Saya sempat bikin foto di depan gereja Katolik Santa Brigita dan heran karena saya lupa berfoto di depan patung Bunda Maria di samping gereja itu. Umat Katolik adalah minoritas di Sawahlunto, dan kota itu sangat toleran. Saya tidak hidup di Ruteng, kampung halaman saya di NTT, tetapi saya selalu berharap umat beragama di sana juga hidup berdampingan dengan baik, seperti di Sawahlunto. Kalau saudara-saudara dari Sawahlunto berkesempatan jalan-jalan ke Ruteng, mereka bisa melihat masjid besar di Kumba, dan terutama masjid lama yang di tengah kota, yang lebih bersejarah. Hidup bersama itu enak. Dan catat ini: Ruteng juga kota yang indah sekali.
Kami baru tidur jauh lewat tengah malam. Tempat kami tidur adalah penginapan milik pemerintah daerah, terletak di belakang hotel Ombilin yang bersejarah itu. Tempatnya nyaman dan terletak tidak jauh dari Lapangan Segitiga (Lapseg), yang bolehlah dianggap sebagai alun-alun kota. Saya tidur dalam rasa syukur untuk kehidupan. Nyenyak sekali.
Bangun pada Senin yang mendung, saya dan Bung Andre menuju Silo. Di samping kompleks yang ikonik itulah berdiri rumah Mbah Bud, bangunan sederhana yang bersuasana musikal dan persaudaraan mewah. Kami ngopi di situ, dan tidak lama kemudian teman-teman yang lain menyusul. Karena mereka tahu tempatnya dengan baik, mereka tidak nyasar, dong. Ehm. Kami ngobrol-ngobrol cukup lama, lalu pulang ke penginapan, berganti pakaian lalu menuju Gudang Ransum, bangunan bersejarah itu. Lagi-lagi untuk pengambilan video untuk lagu kami yang lain lagi. Pengambilan video berjalan seru sekali.
Setelah berpamitan, kami pulang. Meninggalkan kota indah dan bersejarah yang nyaman, yang kami anggap sebagai kampung halaman kedua setelah Kampung Tugu. Kota arang yang selalu memanggil pulang, kota asal pahlawan nasional Muhammad Yamin, orang yang membuat kita, dari Sabang sampai Merauke berbahasa satu, bahasa Indonesia. Dan kami pulang tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda. Enak di hati. Enak sekali.
Hanya beberapa menit keluar dari kota, ada penjual durian di lokasi yang sama dengan saat kami singgah makan durian pada tahun 2013. Duriannya masih sama rasanya: sedap. Dan setelah makan durian itu, saya merasa tidak ada lagi hal penting yang dapat saya ceritakan. Sebab apa? Kan sudah makan durian. Satu yang pasti, kami akan selalu rindu pulang ke Sawahlunto. Rindu sekali.
Oh ya, perjalanan kami di Ranah Minang bisa disaksikan di tautan ini: https://youtu.be/KT_AwbLhH18.
Comments
Post a Comment