Hujan Diciptakan Agar Kau Tahu Rumah Itu Hangat
Saya sedang berhenti di bawah jalan layang Tanjung Barat untuk memakai mantel hujan. Dingin. Kira-kira jam dua Rabu subuh. Hujan lebat. Mereka, pasangan itu, juga berteduh. Mungkin mereka tidak punya mantel hujan. Istrinya berkerudung oranye, pakai jaket. Suaminya berjaket hitam. Di bagian depan motor, ada karung beras.
Mungkin saya berlebihan, tapi saya sangat yakin melihat cinta dalam percakapan mereka, walau kata-kata yang terucap tertutup deru hujan. Tangan sang istri yang melingkari pinggang suaminya digenggam erat oleh sang suami yang sesekali tersenyum memandang kejauhan.
Mungkin mereka berharap segera bertemu anak-anak, untuk dipeluk dalam hangat kamar yang mungkin sederhana. Mungkin mereka sebetulnya tak sabar untuk segera mengatakan kepada anak-anak itu, bahwa beberapa hari ke depan mereka pasti bisa makan, setidaknya nasi.
Saya selalu yakin bahwa hujan diturunkan agar kita tahu bahwa rumah itu hangat. Ya, rumah itu hangat. Dan, di mana kita merasa hangat, di situlah rumah. Di mana kita dicinta, itulah kamar. Kata Ebiet, “Di sinilah, di kamarku, yang dingin ini, aku ingin menangis di pangkuanmu”. Oh, ya, lirik itu ada di lagu “Hidup 2″. Ebiet punya empat lagu berjudul “Hidup”. “Camelia” juga ada empat. Empat-empatnya “enak didengar dan perlu”.
Banyak hal yang bisa diamati dalam perjalanan pulang ke rumah pada subuh begini. Apalagi di bawah hujan. Saya sangat sering melihat pemandangan yang mengharukan. Misalnya, seorang anak muda yang memeluk ibunya yang sudah tua, membagi kehangatan saat berteduh.
Mungkin banyak orang bereaksi sama seperti saya saat melihat hal seperti itu: memejamkan mata sebentar, lalu berdoa semoga mereka baik-baik saja, semoga Tuhan selalu memberikan tambahan alasan agar mereka tersenyum, bahkan di saat mereka kecewa kepada jalan hidup, takdir, dan hujan.
Kadang, tanpa sadar mata menjadi basah, bersyukur bahwa hidup itu indah, dan dalam sangat banyak hal, saya merasa sangat beruntung. Dan, jika sudah begitu, pandangan akan menjadi kabur, dan apapun yang terlihat, seolah bergerak dalam gerak lambat, blur. Dan berbingkai pula. Hehehe. Kalau kamu yang mengalaminya, bingkainya terserah kamu, boleh merah muda atau kuning. Terserah. Yang punya pandangan dan mata kan kamu, masa kamu tega meminta saya yang mengurus bingkainya? Hahahaha. Saya kan pemusik, bukan pengurus bingkai.
Saya selalu berhati-hati saat naik motor di bawah hujan, sebab jalanan licin, pasti gampang jatuh. Oh ya, motor saya sangat parah dalam segala aspek: warna, rem, spion, dan kelengkapan surat-surat. Kadang saya memandangnya penuh haru, pemirsa. Tapi saya cinta mati.
Lanjut, ya. Ya, kalau ngebut, lalu jatuh, jangan harap jatuhnya dalam gerak lambat, blur, dan pakai bingkai pula. Pasti berlangsung cepat, kan? Dan kita bisa saja disambar mobil yang melaju dari belakang. Dan, jangan mimpi mobil itu melaju dalam gerak lambat dan blur. Dan berbingkai pula. Hehehehe. Salah sedikit, habis!
Dan jika tidak hujan, sementara jalanan sepi, di saat godaan untuk ngebut melanda, saya selalu punya cara untuk mengendalikan diri, yaitu dengan sering-sering menyebut nama sendiri, sehingga saya sadar betul, bahwa nama saya sama sekali bukan Valentino Rossi. Apalagi saya sering mengantuk dalam perjalanan, tergantung apakah di tempat ngamen saya mengonsumsi minuman yang halal atau haram.
Dalam situasi apapun yang terasa tidak biasa, saya selalu punya lagu yang sekiranya cocok sebagai penajam rasa untuk meresapi situasi yang sedang dihadapi. Cieeee…. Dalam situasi seperti ini, sendiri menyaksikan dunia yang berputar di pagi-pagi buta, saya selalu ingat lagu Iwan Fals yang berjudul “Aku di Sini”.
Iwan Fals itu hebat. Lagu-lagunya bisa menjadi potret (buram) bagi departemen apa saja di negara ini. “Oemar Bakri” untuk Departemen Pendidikan, “Ambulance Zig Zag” untuk Departemen Kesehatan, “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi” untuk Departemen Kehutanan, “Tak Biru Lagi Lautku” untuk Departemen Kelautan, atau “Tarmijah dan Problemnya” untuk Departemen Tenaga Kerja, lalu “Serdadu” untuk Departemen Pertahanan dan “Kisah Sepeda Motorku” buat Kepolisian.
Kembali ke “Aku di Sini”. Lagu yang indah. Bait pertama dibuka dengan “Mengantuk perempuan setengah baya di bak terbuka mobil sayuran…”, dan ditutup dengan “Aku ingat ibuku, aku ingat istri dan anak perempuanku”. Sangat banyak laki-laki yang melalui malam yang penuh perjuangan, namun mungkin saja tidak seberuntung saya yang dalam dera dingin dan hujan setidaknya masih dapat tersenyum, karena mengetahui istri dan anak aman di dalam kamar, pada sebuah rumah. Mungkin ada yang tetap harus memikirkan istri dan anaknya harus tidur di mana, karena rumah bocor, kebanjiran, atau memang tidak punya rumah dan hidup di kolong jembatan. Namun, mungkin saja ada yang sama sekali tidak memikirkan istri dan anak karena memang belum menikah. Hehehehe.
Kembali ke Iwan Fals. Pencatat dan penyair yang cerdik, lihai dan tajam Iwan Fals itu. Saya pernah membaca sebuah wawancara dengan beliau, saat dia mengatakan bahwa salah satu hal yang dikejarnya dari lagu-lagunya adalah agar lagu-lagu itu terdengar seperti lagu-lagu Bob Dylan, yang jika didengarkan akan terasa seperti seorang tetangga yang bernyanyi. Bob Dylan itu hebat, saya benar-benar mengidolakannya, tetapi secara notasi Iwan Fals unggul di banyak lagu. Itu menurut selera notasi saya. Kalau menurut kamu beda, terserah. Mengurus bingkai kamu saja saya enggan, apalagi selera.
Saya salut Iwan Fals terang-terangan menyebut Bob Dylan sebagai inspirasi. Selayaknya demikian. Saya sering sedih saat bertanya-tanya, apakah Chairil Anwar memang menjiplak puisi Archibald Mac Leish yang berjudul “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” saat menulis “Karawang Bekasi”? Memang sangat mirip. Bisa lihat di Google.
Konon, Chairil Anwar pernah bakupukul dengan HB. Jassin gara-gara bertengkar tentang puisi itu. Chairil itu pantas diidolakan, dan jika idola kita melakukan kesalahan, kita pasti sedih lah, sementara kalau kita melakukan kesalahan, idola kita belum tentu sedih dong, sebab dia belum tentu kenal kita, dan mungkin saja dia sudah mati. Seperti Chairil, kan?
Idola kita bisa siapa saja. Bisa musisi, birokrat, ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, guru, ulama, siapa saja. Untuk menerima mereka melakukan kesalahan, tidak mudah. Dan, salah satu hal terberat saat punya anak terletak di situ. Bagaimanapun jeleknya saya, saya yakin putri saya mengidolakan saya. Horeeeee….Sementara saya pasti punya salah. Beratnya di situ.
Saya sudah memakai mantel hujan, dan pasangan di atas motor itu belum beranjak, dan oh, suaminya menyeka air mata, entah bermakna apa. Tuhan, lindungilah dan sayangilah siapapun yang pernah melintas di dalam hidup saya. Amin.
Saya tidak buru-buru pulang, Tuhan, sebab Kau sedang memeluk anak dan istri saya di dalam lelap tidur mereka, di dalam kamar rumah kami, dalam hangat cintaMu. Tuhan, itu sungguh menghangatkan hati saya di bawah deru hujan yang mungkin lama.
(5 Desember 2014)
Comments
Post a Comment