Posts

Showing posts from 2018

Pohon Asam

Saya menempuh pendidikan menengah pertama di Seminari Kisol pada 1986-1989. Selama itu, saya sering ke kota Borong bersama teman-teman pada hari Minggu. Jalan kaki, bukan naik delman. Tidak turut ayah. Kan tinggal di asrama. Lagipula tidak ada delman di sana.  Biasanya kami memotong jalan melalui bukit hutan dan akan tiba di sebuah kampung bernama Tanggo. Kalau uang cukup, kami membeli pisang di pinggir jalan di kampung itu. Sebelum sebuah jalan menurun masuk ke kota Borong, kami biasanya berhenti melepas lelah. Di kanan jalan itu ada pohon asam yang entah sejak kapan ada di situ, tumbuh kokoh pada bibir tebing yang cukup curam. Saya pernah memanjatinya, sekadar untuk memberitahu diri sendiri bahwa saya mungkin jagoan dan pemberani. Dari situ laut Borong keliatan. Pulau Mules membiru di kejauhan. Indah sekali. Pada sebuah sore di bulan Juni 2008, untuk pertama kali saya datang ke Kampung Tugu. Diajak Mas Ages Dwiharso, untuk bergabung dengan Krontjong T...

Conor McGregor, Ratna Sarumpaet, Prabowo, Jokowi

Tiga hari yang lalu, saya tidak punya stok celana pendek. Saya terpaksa pakai celana renang. Tau celana renang, kan? Ketat sekali. Wow. Saya terbiasa pakai celana pendek saja saat menjemput anak di sekolah, dan saya sudah di atas motor saat saya ingat bahwa celana pendek saya tidak pantas untuk ke sekolah itu, atau ke sekolah lain, baik sekolah swasta maupun negeri. Karena itu celana renang. Bayangkan jika saya hanya pakai celana renang di sekolah anak saya! Apa yang lain tidak ikut-ikutan pakai celana renang di sekolah yang tidak ada kolam renangnya itu? Untung saya ingat. Saya kembali ke dalam rumah dan memakai celana panjang, di luar celana renang. Celana renang, celana panjang. Begitu urutannya. Sebelum belokan menuju sekolah, saya terhalang sebuah motor yang berhenti, pengendaranya sedang mengetik pada telepon selulernya. Dia menepi setelah saya klakson dua kali. Saya sempat berpikir bahwa jika sampai klakson ketiga dia belum minggir, sa...

SKF dan Ibu Sugiatun

Hidup Ibu Sugiatun! Salah satu kenikmatan terbesar dalam setiap perjalanan adalah menyaksikan kehidupan yang memberi pelajaran tentang hidup, cinta, dan perjuangan. Pelajaran-pelajaran seperti ini tentu saja berbeda dengan pelajaran yang diketikkan pada media sosial, berisi kutipan-kutipan kalimat indah yang nama pengarangnya ada di dalam tanda kurung, yang pada latar belakangnya ada gambar bunga, burung, sungai, gunung, atau tangan-tangan yang sedang bergandengan. Kalimat-kalimat yang mungkin saja bertujuan untuk mengatakan bahwa hidup itu bisa menjadi mudah, yang penting memenuhi satu syarat: menghafal kalimat-kalimat orang terkenal itu.  Saya sedang di toilet, melaksanakan acara buang air besar yang kedua untuk hari ini saja. Ini bukan lancar, ini bocor. Walau istilah umumnya adalah bung air besar, yang ini kecil-kecil keluarnya. Ada yang tidak beres dengan perut saya, seperti hampir selalu terjadi setiap kali saya ada di luar kota. Hari ini kami, Krontjong Toegoe a...

Kampung Tugu, de Mardijkers, Solo Keroncong Festival

Macet parah di daerah Batang. Bis besar yang kami tumpangi dengan sabar menunggu momentum untuk beringsut. Saya duduk di samping pak supir yang sedang bekerja. Karena macet, mobil susah untuk baik jalannya. Entah kapan sampai Jakarta. Otak dan kepala saya masih berbau Solo. Kota yang hebat, dengan penonton keroncong yang lebih hebat lagi, yang tetap bergeming hingga tengah malam lewat. Kami terdiri dari dua rombongan: dari Kampung Tugu dan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Kami, dari tim Krontjong Toegoe, menemani anak-anak Krontjong Toegoe Junior, de Mardijkers, dan teman-teman dari UPI menemani grup Midaleudami. Dua-duanya tampil pada malam kedua Solo Keroncong Festival. Biasa disingkat SKF. Dua-duanya tampil baik dan sungguh memberi warna. Saya hampir menitikkan air mata saat menyaksikan penampilan de Mardijkers. Di belakang saya duduk lesehan Bung Andre Michiels, komandan kami. Di depan saya Bung Nikolaus Ola, pembimbing de Mardijkers. Kami berteriak-teriak seperti...

Gigi Empat

Ngilu. Ngilu sekali. Ini adalah kopi pertama yang saya minum sejak saya menjalani pembersihan karang gigi tadi sore. Untuk pertama kalinya dalam hidup. "Bapaknya Sae, ya?" "Iya, Dokter." Dokter yang saya lupa namanya itu adalah seorang wanita berkerudung yang sangat ramah, edukatif. Tinggal di Citayam. Sae, putri saya, pernah menjadi pasiennya. Terpujilah wahai engkau ibu dokter gigi. "Oke, Bapak rebahan , kita mulai, ya." Klinik ini adalah klinik milik gereja Bethel dekat rumah. Menerima pasien BPJS. Ini untuk kedua kalinya saya menggunakan BPJS sejak bergabung beberapa tahun lalu. Rugi kah? Tidak. Saya pernah menyaksikan seorang sahabat kena sakit berat dan pembiayaannya ditanggung BPJS. Karena saya selalu membayar setiap bulan, saya merasa ikut membantu orang lain yang sakit di negara ini. Ribuan pulau tergabung menjadi satu, sebagai ratna mutu manikam.  BPJS adalah salah satu cara hidup bersama di republik ini. Ia tidak hanya fungs...