Kampung Tugu, de Mardijkers, Solo Keroncong Festival
Macet parah di daerah Batang. Bis besar yang kami tumpangi dengan sabar menunggu momentum untuk beringsut. Saya duduk di samping pak supir yang sedang bekerja. Karena macet, mobil susah untuk baik jalannya. Entah kapan sampai Jakarta. Otak dan kepala saya masih berbau Solo. Kota yang hebat, dengan penonton keroncong yang lebih hebat lagi, yang tetap bergeming hingga tengah malam lewat.
Kami terdiri dari dua rombongan: dari Kampung Tugu dan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Kami, dari tim Krontjong Toegoe, menemani anak-anak Krontjong Toegoe Junior, de Mardijkers, dan teman-teman dari UPI menemani grup Midaleudami. Dua-duanya tampil pada malam kedua Solo Keroncong Festival. Biasa disingkat SKF. Dua-duanya tampil baik dan sungguh memberi warna.
Saya hampir menitikkan air mata saat menyaksikan penampilan de Mardijkers. Di belakang saya duduk lesehan Bung Andre Michiels, komandan kami. Di depan saya Bung Nikolaus Ola, pembimbing de Mardijkers. Kami berteriak-teriak seperti remaja yang mengelu-elukan grup rock kebanggaannya. Saya yakin Usi Audrey dan Bung Bram, pasangan suami istri dari Belanda yang merupakan sahabat Krontjong Toegoe, yang juga ikut berangkat ke Solo, merasakan hal yang sama. Juga Bung Tino dan Cici Saartje yang menonton dari pinggir kanan panggung. Luar biasa.
Anak-anak yang sebagian belum bisa dianggap dewasa dari segi usia, belum cukup umur sebagai orang panggung, tampil hebat dan sangat membanggakan.
Jujur, sebelum mereka tampil, saya agak gelisah. Jauh lebih gelisah dibanding kalau kami dari tim senior yang tampil. Saya takut membayangkan terpukulnya perasaan mereka jika tampil tidak bagus. Saya beberapa kali berdoa dalam hati agar semuanya lancar, sebab ini membawa nama Kampung Tugu, tempat keroncong lahir pada abad ke-17 lalu. Tempat yang merupakan “nol kilometer keroncong” dalam istilah Mas Parto, pejuang dan wartawan keroncong.
Di sela-sela berlangsungnya acara, saya beberapa kali bolak-balik ke jalan besar di depan lokasi acara, memandangi berlalunya waktu di Kota Solo dari bawah pohon asam besar yang daun-daunnya begitu indah terpapar cahaya. Kadang saya ingat Ruteng, kota dingin tanpa pohon asam. Saya tidak sedih, sebab jika ada pohon asam raksasa di Ruteng, maka saya tidak akan dapat menegadahkan wajah kepada ribuan bintang yang bergantungan di langit malam. Saya sering menduga Ruteng adalah tempat berkumpulnya bintang dari segala penjuru dunia, tempat di mana tangga menuju surga tersusun dari bintang-bintang.
Ada beberapa hal lainnya yang saya bisa ingat dari acara tadi malam. Menurut saya, seperti pada malam pertama, inovasi yang ditampilkan di malam kedua pesta keroncong itu sungguh luar biasa, hebat, eksploratif, sehingga saat Orkes Keroncong Putra Seniman tampil, saya merasa terbawa kembali ke masa-masa dulu di Ruteng, saat keroncong masih begitu sering disiarkan di TVRI. Oh ya, maaf, saya sering sekali bercerita soal Ruteng. Bukan apa-apa, itu kan kampung saya. Mana mungkin saya bercerita tentang kampung kamu, kan saya belum pernah ke sana. Hehehe.
Saat saya mahasiswa dulu, dalam sebuah mata kuliah yang membahas “apa itu seni, apa itu bukan seni”, ada didiskusikan panjang lebar sebuah pendapat bahwa sebuah karya dapat disebut seni jika memiliki unsur “defamiliarisasi” atau “deotomatisasi”. Di saat hampir semua grup, sejak malam pertama, melakukan eksplorasi luar biasa pada keroncong, sehingga sampai pada titik “terasa terlalu familiar” dan “terlalu otomatis”, grup yang tampil “biasa”, “lurus” dan “seperti yang kita kenal” menjadi antitesis yang menghentak. Enak. Yang justru membuat mereka “luar biasa”.
Di sebuah pom bensin di Batang, kami berhenti, karena beberapa orang ingin kencing. Mengapa mereka ingin kencing? Ya, urusan mereka. Saya tidak tega mengungkit-ungkit urusan sepribadi kencing. Hehehehe.
Midoleudami tampil oke menggabungkan beberapa elemen musik Sunda ke dalam keroncong. Atau sebaliknya, saya kurang tahu. Sebagian notasi dan lirik lagu tentang Bandung Utara masih berbekas di dalam kepala saya. Salah satu ornamen yang dimasukkan adalah saron. Saya sempat teringat Sharon Stone dan filmnya yang monumental itu. Ingat?
De Mardijkers sendiri tampil dengan “energi muda”. Segar dan beda. Mereka memainkan musik keroncong dengan pukulan Tugu. Ada tiga pukulan yang sejauh pengetahuan saya merupakan arus utama pukulan keroncong, yaitu pukulan Tugu, pukulan Solo (trulungan), dan pukulan Jakarta-an. De Mardijkers memainkan empat lagunya dengan gaya Tugu yang kental. Saya suka, sebab menurut saya, sebuah penampilan musik yang baik bukan saja harus “enak”, tetapi cara menampilkannya harus dapat dengan cukup jelas menunjukkan akarnya. Anak-anak de Mardijkers sukses terdengar enak sekaligus berhasil menunjukkan bagaimana musik keroncong telah dimainkan di tempat lahirnya, di Kampung Tugu, selama ratusan tahun. Coba bayangkan, sebuah grup keroncong dari Tugu jungkir balik memainkan lagu-lagunya dan berhasil membuat penonton teringat akan kota Paris. Kan aneh. Atau, sebuah grup dari Hongkong tampil sangat bagus sehingga membuat penonton semakin ingin tahu tentang Flores.
Kami sudah di Pekalongan. Lalu lintas mulai lancar. Bis sudah sedikit berkurang suasana ramainya, sebagian mulai ngantuk. Saya ingat rumah. Rumah adalah tempat di mana semua orang dan semua suasana selalu terasa segar dan baru, sehingga tidak diperlukan ekslorasi berlebihan untuk membuatnya memenuhi syarat “defamiliarisasi”. Itu menurut saya.
Kembali ke SKF. Saya tidak bisa mengingat semua grup yang tampil, selain karena daya ingat yang terbatas, juga karena saya sering bolak-balik dari venue ke pohon asam raksasa itu. Kelompok Jempol Jentik juga menonjol. Alat-alat musiknya sebagian besar terbuat dari bambu. Permainan mereka solid dan matang.
Nah, ada satu lagi yang monumental. Arif Lukisan adalah grup keroncong asal Malaysia. Jujur, sebelumnya saya tidak terlalu mengharapkan sesuatu yang hebat dari sebuah grup keroncong dari Malaysia. Dan, saya salah. Salah total. Mereka luar biasa. Sangat keroncong sekaligus sangat Malaysia. Komposisi alat musiknya klasik: hanya cak, cuk, cello, bass, gitar dan biola. Karena sedikit, setiap alat terdengar dengan baik, dengan kualitas tata suara yang bagus, karena setiap alat sudah otomatis duduk pada frekuensi alamiahnya sendiri. Selama dua malam berlangsungnya acara, “gitar keroncong” baru terdengar dengan menonjol saat grup ini tampil, baik secara aransemen maupun secara tata suara. Buat saya pribadi, ini segar dan sangat menarik, di tengah gemuruh “banjir sinkopasi”, “hujan aransemen ribet”. Mereka bermain secara klasik, “lurus” sehingga menghasilkan musik keroncong “seperti yang kita kenal”. Mereka menutup acara dengan memainkan musik Melayu dengan sentuhan keroncong. Para penyanyi latar yang berjumlah enam orang berubah menjadi penari. Mereka berjoget Melayu dengan bebas, dengan senyum lebar, dengan rasa bahagia. Penonton pun bahagia. Jika Kau bahagia memainkan musikmu, penonton pun akan bahagia, sebab jika Kau menyukai apa yang Kau mainkan, penonton pun akan menyukainya, sebab Kau dan penonton sama-sama orang. Hehehehe.
Kebahagiaan hati serupa itu tampak dimiliki juga oleh de Mardijkers saat tampil. Bukan hanya tergambar pada diri Arend Michiels, komandan mereka, tapi juga pada semua yang lain. Walau masih muda, mereka tampak dewasa karena mereka berhasil melawan sesuatu yang hanya bisa dihadapi orang dewasa. Sesuatu itu adalah tekanan. Karena memiliki kedewasaan dan kekuatan hati menghadapi tekanan, saya percaya bahwa ini hanyalah awal dari sebuah cerita panjang tentang sebuah grup keroncong bernama de Mardijkers.
Kami sudah di Pemalang dan macet lagi. Tadi, Ruby, pemain gitar de Mardijkers menawarkan saya permen asam. Wah, saya jadi kembali ingat pohon asam yang di Solo itu. Ujung-ujungnya bisa ditebak. Saya jadi ingat Ruteng. Hahahaha.
Ini tambahan. Saya lupa menulis soal malam pertama festival dalam versi yang belum diedit. Maklum, saya menulis di dalam bis, dalam keadaan lelah, dengan kondisi kurang enak perut karena makan roti. Roti selalu jahat kepada saya, walaupun saya tak pernah jahat keadanya. Raginya selalu bikin perut kembung , tapi saya selalu kembung kepadanya. "Kembung", kata dalam Bahasa Manggarai, berarti rindu. Roti tidak disarankan untuk orang dengan sakit maag. Oh ya, sedikit yang bisa saya ceritakan soal malam pertama, mungkin karena saya benar-benar terpana oleh penampilan Komunitas Keroncong Anak Jombang, yang terdiri dari anak-anak yang masih sangat muda, tetapi kalau boleh jujur, buat saya merupakan penampil terbaik dalam SKF tahun ini. Grup-grup lainnya juga hebat-hebat dan membuat saya sadar bahwa keroncong telah meningkat pesat dari sisi pengembangan.
Satu lagi hal penting soal perasaan saya, mengapa saya begitu terharu melihat penampilan de Mardijkers, yaitu karena saya telah mengenal baik beberapa di antara pemainnya sejak mereka SD. Ya, saya merasa Tugu sebagai rumah saya sejak pertama kali diajak bergabung oleh Mas Ages Dwiharso pada Juli tahun 2008. Sudah lebih dari tujuh tahun, dan saya suka.
Tuhan sayang Kampung Tugu, Tuhan sayang de Mardijkers, Tuhan sayang keroncong. Tuhan sayang kita semua.
(Di atas bis pulang, 27 September 2015)
Kami terdiri dari dua rombongan: dari Kampung Tugu dan dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Kami, dari tim Krontjong Toegoe, menemani anak-anak Krontjong Toegoe Junior, de Mardijkers, dan teman-teman dari UPI menemani grup Midaleudami. Dua-duanya tampil pada malam kedua Solo Keroncong Festival. Biasa disingkat SKF. Dua-duanya tampil baik dan sungguh memberi warna.
Saya hampir menitikkan air mata saat menyaksikan penampilan de Mardijkers. Di belakang saya duduk lesehan Bung Andre Michiels, komandan kami. Di depan saya Bung Nikolaus Ola, pembimbing de Mardijkers. Kami berteriak-teriak seperti remaja yang mengelu-elukan grup rock kebanggaannya. Saya yakin Usi Audrey dan Bung Bram, pasangan suami istri dari Belanda yang merupakan sahabat Krontjong Toegoe, yang juga ikut berangkat ke Solo, merasakan hal yang sama. Juga Bung Tino dan Cici Saartje yang menonton dari pinggir kanan panggung. Luar biasa.
Anak-anak yang sebagian belum bisa dianggap dewasa dari segi usia, belum cukup umur sebagai orang panggung, tampil hebat dan sangat membanggakan.
Jujur, sebelum mereka tampil, saya agak gelisah. Jauh lebih gelisah dibanding kalau kami dari tim senior yang tampil. Saya takut membayangkan terpukulnya perasaan mereka jika tampil tidak bagus. Saya beberapa kali berdoa dalam hati agar semuanya lancar, sebab ini membawa nama Kampung Tugu, tempat keroncong lahir pada abad ke-17 lalu. Tempat yang merupakan “nol kilometer keroncong” dalam istilah Mas Parto, pejuang dan wartawan keroncong.
Di sela-sela berlangsungnya acara, saya beberapa kali bolak-balik ke jalan besar di depan lokasi acara, memandangi berlalunya waktu di Kota Solo dari bawah pohon asam besar yang daun-daunnya begitu indah terpapar cahaya. Kadang saya ingat Ruteng, kota dingin tanpa pohon asam. Saya tidak sedih, sebab jika ada pohon asam raksasa di Ruteng, maka saya tidak akan dapat menegadahkan wajah kepada ribuan bintang yang bergantungan di langit malam. Saya sering menduga Ruteng adalah tempat berkumpulnya bintang dari segala penjuru dunia, tempat di mana tangga menuju surga tersusun dari bintang-bintang.
Ada beberapa hal lainnya yang saya bisa ingat dari acara tadi malam. Menurut saya, seperti pada malam pertama, inovasi yang ditampilkan di malam kedua pesta keroncong itu sungguh luar biasa, hebat, eksploratif, sehingga saat Orkes Keroncong Putra Seniman tampil, saya merasa terbawa kembali ke masa-masa dulu di Ruteng, saat keroncong masih begitu sering disiarkan di TVRI. Oh ya, maaf, saya sering sekali bercerita soal Ruteng. Bukan apa-apa, itu kan kampung saya. Mana mungkin saya bercerita tentang kampung kamu, kan saya belum pernah ke sana. Hehehe.
Saat saya mahasiswa dulu, dalam sebuah mata kuliah yang membahas “apa itu seni, apa itu bukan seni”, ada didiskusikan panjang lebar sebuah pendapat bahwa sebuah karya dapat disebut seni jika memiliki unsur “defamiliarisasi” atau “deotomatisasi”. Di saat hampir semua grup, sejak malam pertama, melakukan eksplorasi luar biasa pada keroncong, sehingga sampai pada titik “terasa terlalu familiar” dan “terlalu otomatis”, grup yang tampil “biasa”, “lurus” dan “seperti yang kita kenal” menjadi antitesis yang menghentak. Enak. Yang justru membuat mereka “luar biasa”.
Di sebuah pom bensin di Batang, kami berhenti, karena beberapa orang ingin kencing. Mengapa mereka ingin kencing? Ya, urusan mereka. Saya tidak tega mengungkit-ungkit urusan sepribadi kencing. Hehehehe.
Midoleudami tampil oke menggabungkan beberapa elemen musik Sunda ke dalam keroncong. Atau sebaliknya, saya kurang tahu. Sebagian notasi dan lirik lagu tentang Bandung Utara masih berbekas di dalam kepala saya. Salah satu ornamen yang dimasukkan adalah saron. Saya sempat teringat Sharon Stone dan filmnya yang monumental itu. Ingat?
De Mardijkers sendiri tampil dengan “energi muda”. Segar dan beda. Mereka memainkan musik keroncong dengan pukulan Tugu. Ada tiga pukulan yang sejauh pengetahuan saya merupakan arus utama pukulan keroncong, yaitu pukulan Tugu, pukulan Solo (trulungan), dan pukulan Jakarta-an. De Mardijkers memainkan empat lagunya dengan gaya Tugu yang kental. Saya suka, sebab menurut saya, sebuah penampilan musik yang baik bukan saja harus “enak”, tetapi cara menampilkannya harus dapat dengan cukup jelas menunjukkan akarnya. Anak-anak de Mardijkers sukses terdengar enak sekaligus berhasil menunjukkan bagaimana musik keroncong telah dimainkan di tempat lahirnya, di Kampung Tugu, selama ratusan tahun. Coba bayangkan, sebuah grup keroncong dari Tugu jungkir balik memainkan lagu-lagunya dan berhasil membuat penonton teringat akan kota Paris. Kan aneh. Atau, sebuah grup dari Hongkong tampil sangat bagus sehingga membuat penonton semakin ingin tahu tentang Flores.
Kami sudah di Pekalongan. Lalu lintas mulai lancar. Bis sudah sedikit berkurang suasana ramainya, sebagian mulai ngantuk. Saya ingat rumah. Rumah adalah tempat di mana semua orang dan semua suasana selalu terasa segar dan baru, sehingga tidak diperlukan ekslorasi berlebihan untuk membuatnya memenuhi syarat “defamiliarisasi”. Itu menurut saya.
Kembali ke SKF. Saya tidak bisa mengingat semua grup yang tampil, selain karena daya ingat yang terbatas, juga karena saya sering bolak-balik dari venue ke pohon asam raksasa itu. Kelompok Jempol Jentik juga menonjol. Alat-alat musiknya sebagian besar terbuat dari bambu. Permainan mereka solid dan matang.
Nah, ada satu lagi yang monumental. Arif Lukisan adalah grup keroncong asal Malaysia. Jujur, sebelumnya saya tidak terlalu mengharapkan sesuatu yang hebat dari sebuah grup keroncong dari Malaysia. Dan, saya salah. Salah total. Mereka luar biasa. Sangat keroncong sekaligus sangat Malaysia. Komposisi alat musiknya klasik: hanya cak, cuk, cello, bass, gitar dan biola. Karena sedikit, setiap alat terdengar dengan baik, dengan kualitas tata suara yang bagus, karena setiap alat sudah otomatis duduk pada frekuensi alamiahnya sendiri. Selama dua malam berlangsungnya acara, “gitar keroncong” baru terdengar dengan menonjol saat grup ini tampil, baik secara aransemen maupun secara tata suara. Buat saya pribadi, ini segar dan sangat menarik, di tengah gemuruh “banjir sinkopasi”, “hujan aransemen ribet”. Mereka bermain secara klasik, “lurus” sehingga menghasilkan musik keroncong “seperti yang kita kenal”. Mereka menutup acara dengan memainkan musik Melayu dengan sentuhan keroncong. Para penyanyi latar yang berjumlah enam orang berubah menjadi penari. Mereka berjoget Melayu dengan bebas, dengan senyum lebar, dengan rasa bahagia. Penonton pun bahagia. Jika Kau bahagia memainkan musikmu, penonton pun akan bahagia, sebab jika Kau menyukai apa yang Kau mainkan, penonton pun akan menyukainya, sebab Kau dan penonton sama-sama orang. Hehehehe.
Kebahagiaan hati serupa itu tampak dimiliki juga oleh de Mardijkers saat tampil. Bukan hanya tergambar pada diri Arend Michiels, komandan mereka, tapi juga pada semua yang lain. Walau masih muda, mereka tampak dewasa karena mereka berhasil melawan sesuatu yang hanya bisa dihadapi orang dewasa. Sesuatu itu adalah tekanan. Karena memiliki kedewasaan dan kekuatan hati menghadapi tekanan, saya percaya bahwa ini hanyalah awal dari sebuah cerita panjang tentang sebuah grup keroncong bernama de Mardijkers.
Kami sudah di Pemalang dan macet lagi. Tadi, Ruby, pemain gitar de Mardijkers menawarkan saya permen asam. Wah, saya jadi kembali ingat pohon asam yang di Solo itu. Ujung-ujungnya bisa ditebak. Saya jadi ingat Ruteng. Hahahaha.
Ini tambahan. Saya lupa menulis soal malam pertama festival dalam versi yang belum diedit. Maklum, saya menulis di dalam bis, dalam keadaan lelah, dengan kondisi kurang enak perut karena makan roti. Roti selalu jahat kepada saya, walaupun saya tak pernah jahat keadanya. Raginya selalu bikin perut kembung , tapi saya selalu kembung kepadanya. "Kembung", kata dalam Bahasa Manggarai, berarti rindu. Roti tidak disarankan untuk orang dengan sakit maag. Oh ya, sedikit yang bisa saya ceritakan soal malam pertama, mungkin karena saya benar-benar terpana oleh penampilan Komunitas Keroncong Anak Jombang, yang terdiri dari anak-anak yang masih sangat muda, tetapi kalau boleh jujur, buat saya merupakan penampil terbaik dalam SKF tahun ini. Grup-grup lainnya juga hebat-hebat dan membuat saya sadar bahwa keroncong telah meningkat pesat dari sisi pengembangan.
Satu lagi hal penting soal perasaan saya, mengapa saya begitu terharu melihat penampilan de Mardijkers, yaitu karena saya telah mengenal baik beberapa di antara pemainnya sejak mereka SD. Ya, saya merasa Tugu sebagai rumah saya sejak pertama kali diajak bergabung oleh Mas Ages Dwiharso pada Juli tahun 2008. Sudah lebih dari tujuh tahun, dan saya suka.
Tuhan sayang Kampung Tugu, Tuhan sayang de Mardijkers, Tuhan sayang keroncong. Tuhan sayang kita semua.
(Di atas bis pulang, 27 September 2015)
Keren..!!
ReplyDelete