SKF dan Ibu Sugiatun

Hidup Ibu Sugiatun!

Salah satu kenikmatan terbesar dalam setiap perjalanan adalah menyaksikan kehidupan yang memberi pelajaran tentang hidup, cinta, dan perjuangan. Pelajaran-pelajaran seperti ini tentu saja berbeda dengan pelajaran yang diketikkan pada media sosial, berisi kutipan-kutipan kalimat indah yang nama pengarangnya ada di dalam tanda kurung, yang pada latar belakangnya ada gambar bunga, burung, sungai, gunung, atau tangan-tangan yang sedang bergandengan. Kalimat-kalimat yang mungkin saja bertujuan untuk mengatakan bahwa hidup itu bisa menjadi mudah, yang penting memenuhi satu syarat: menghafal kalimat-kalimat orang terkenal itu. 

Saya sedang di toilet, melaksanakan acara buang air besar yang kedua untuk hari ini saja. Ini bukan lancar, ini bocor. Walau istilah umumnya adalah bung air besar, yang ini kecil-kecil keluarnya. Ada yang tidak beres dengan perut saya, seperti hampir selalu terjadi setiap kali saya ada di luar kota.

Hari ini kami, Krontjong Toegoe akan pulang ke Jakarta. Solo adalah salah satu kota yang paling saya sukai, salah satu yang paling indah, kota dengan sejarah panjang. Kota yang jalan-jalannya banyak dinaungi pohon asam. Solo Keroncong Festival (SKF) akan selesai malam ini. Kami tampil pertama tadi malam. Sangat puas. Sound system enak sekali. Dan semua personil puas dengan sound system bukanlah hal yang sering terjadi.

Saya selalu kagum dengan SKF, terutama penontonnya yang hingga akhir acara tetap antusias menikmati. Tadi malam, salah satu kelompok yang memberi warna yang kuat adalah Porsiba, grup keroncong baru asal Tanjung Enim, yang membawakan keroncong dengan sentuhan Melayu yang kuat. 
Tadi malam itu, kami tampil jam 20.40, membawakan enam lagu. Penonton sangat apresiatif, walau pukulan keroncong gaya Tugu berbeda dengan keroncong gaya Solo yang lebih populer. Kami sebisa mungkin tetap mempertahankan cara bermusik yang telah diwariskan para pendahulu di Tugu, setia pada tujuan musik ini tercipta pada masa awal: bersenang-senang, pesta!

Langit di atas Benteng Vastenburg, yang menjadi tempat berlangsungnya acara, penuh dengan nada-nada yang dimainkan dan dilantunkan orang-orang yang yang memuja keindahan hidup, cinta, dan perjuangan. Lapangan di depan panggung penuh dan meriah. Dalam kemeriahan seperti ini, banyak hal yang selalu sanggup membuat saya ingin berlari ke dalam sepi dan kesendirian. Hal-hal itu adalah ingatan akan rumah, masa kecil, orang-orang tersayang yang telah kembali ke penciptanya, atau ide tentang lagu baru. Banyak hal, pokoknya.

Setelah foto bersama, dalam gaya formal dan bebas, bersama pemain cello Nikolaus Ola dan pemain prounga kami yang baru, David Krostomi, saya berjalan-jalan mencari angkringan dan kesepian. Acara masih berlangsung meriah, dan volume suara musik dari panggung pelan-pelan mengecil seiring kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang sisi kanan benteng.  Kami tiba di ujung trotoar dan suasana menjadi lebih sepi. Kami tidak mengendap-endap, merangkak atau berjalan tiarap.  Kami berjalan biasa saja, sebab ini bukan cerita petualangan. 

Kami makan nasi kucing. Tuhan baik, sebab nasi itu memang hanya tersisa tiga bungkus. Jika nasi masih tersisa empat bungkus atau tinggal dua bungkus, Tuhan tetap baik. Oh ya, ini hal lain. Kadang saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena saya tidak cukup rendah hati untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah menolong saya. Dengan menulis ucapan terima kasih kepada Tuhan, saya tetap terlihat rendah hati. Taktik. Titik.

Saya makan dua tusuk sate telur puyuh. Itu favorit saya. Tomi makan satu tusuk. Eko tidak makan sate telur. Saya sering heran dengan Eko. Bukan karena dia tidak makan sate telur, tapi karena saya sering bertanya-tanya mengapa dia dipanggil Eko. Eko adalah orang yang hidupnya penuh perjuangan. Darinya saya banyak belajar. Tapi, namanya Nikolaus dan kata itu kan sama sekali tidak mengandung "eko". Iya, kan? Pulang ke Jakarta nanti saya berencana berkunjung ke rumah Eko, untuk melihat rumah barunya, bukan untuk menanyakan kepada orang-orang di rumahnya mengapa dia dipanggil Eko. Rumah lamanya tertimpa musibah kebakaran. Dia melalui musibah itu dengan kuat dan berani. Tapi, buat apa saya terlalu sibuk dan repot dengan nama panggilan orang? Ada hal-hal yang harus kita terima saja dalam hidup ini, termasuk nama panggilan orang. Sementara nama Ibu pemilik angkringan itu saja saya lupa kalau tidak saya ketik di hp tadi malam itu.

Namanya Sugiatun. Angkringan itu miliknya sendiri. Sudah berjualan sekitar enam bulan. Biasanya buka jam tujuh, tutup jam tiga atau empat subuh. Luar biasa. Sebelumnya dia bekerja pada angkringan orang lain. Dan ada satu hal yang saya kurang ingat dengan baik. Yang saya sempat tangkap adalah saat dia bekerja pada angkringan orang lain, dia pulang jam empat pagi, lalu lanjut bekerja di sebuah tempat lain lagi sampai jam 11 siang. Dia mulai tidur jam dua siang. Perjuangan yang luar biasa. Menghidupi anak-anak dan membiayai sekolah mereka.

Ibu Sugiatun tidak mengeluh. Ia menceritakan kerja sebelumnya yang jauh lebih keras dengan pendapatan lebih kecil sebagai cara mencari hidup yang tidak terlalu tepat. Yang lebih baik adalah mencari uang dengan membuka usaha sendiri. Mengapa beliau tidak mengeluh? Mengapa tidak manja? Mengapa tidak menyerah? Itu haknya. Kalau ada yang suka mengeluh dan mudah menyerah, itu juga hak. Kalau saya mengidolakan orang yang tidak suka mengeluh dan menyerah, itu juga hak saya.

Tentu saja setiap orang adalah pejuang dalam dan untuk hidupnya sendiri. Saya dan kamu adalah pejuang, walaupun tidak mulai bekerja jam tujuh malam, walaupun tidak mulai tidur jam dua siang, selama tidak mudah menyerah, manja, suka mengeluh. Ibu Sugiatun sudah ditinggal pergi suaminya selama 12 tahun. Kamu, yang sedang membaca tulisan ini, walaupun kamu tidak ditinggal pergi suami, kamu tetap pejuang. Tidak mungkin juga kamu ditinggal pergi suami kalau kamu laki-laki, kan? 12 tahun itu lama, Bro.

Saya ingat istri saya. Dia pejuang. Orang yang mencintai pekerjaannya. Buat saya, pekerjaannya berat, karena saya pernah bergabung di sana selama tidak lebih dari tiga bulan. Hanya selama itu saya bertahan, dengan bidang pekerjaan yang jauh lebih mudah. Dia sudah lebih dari setahun dan tetap bergairah. Sangat banyak wanita pejuang di dunia ini, yang keras terhadap dirinya sendiri, walaupun dalam sebuah lagu yang sangat indah, Ismail Marzuki melukiskan mereka sebagai "halus bak sutra dewangga".

Dulu, mama saya membantu keuangan keluarga kami dengan menjahit, meringankan beban Papa sebagai kepala keluarga. Wanita pejuang. Mama tidak pernah kursus menjahit, tetapi tekun belajar dan tentu saja rajin berpikir. Mungkin itu alasan saya berani menjadi pemusik walau otodidak. Tak ada yang lebih kuat dari teladan. 

Untuk minum, kami bertiga memesan air jahe. Cukup lama dibuatnya. Ternyata Ibu Sugiatun belum pernah membuat air jahe sebelumnya. Dengan jujur dia mengakui hal itu, berikut minta maaf jika rasanya tidak sesuai harapan. Kami puas, dan Ibu Sugiatun berulang-ulang menanyakan apakah kami serius saat mengatakan bahwa air jahenya enak.

Oh ya, di Kampung Tugu ada warung yang menyediakan air jahe enak. Warung itu punya Bung Arthur, pemain bass kami. Tadi malam, kami membawakan lagu "Balada Si Warung Kopi" yang menceritakan tentang warung itu. Lagu itu ada di album kami yang terbaru, de Mardijkers. Saya sertakan link spotify-nya, ya. Hidup keroncong! Hidup pejuang! Hidup Ibu Sugiatun!

Sebelum kami pulang, Ibu Sugiatun mengucapkan terima kasih sekali lagi karena sudah mampir, dan mengatakan pembelian kami akan disimpannya sebagai tambahan modal. Kami pamit. Saya terkesima, merasa kurang bersyukur dalam hidup yang hanya sementara ini.

Untuk panitia SKF yang sudah berusaha memberikan yang terbaik, terima kasih banyak, semoga berjumpa lagi.

Sebentar lagi kami akan pulang. Saya akan  bertemu keluarga dan siap menceritakan ulang kisah ini di ruang tengah rumah kami, atau mungkin di dapur. 



Comments

  1. Aeeee... cerita keren.. tp sa pu nama ada juga.. warkop 😂😂😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik lagu "Pempang"

Lompong Cama

All Things Must Pass