Conor McGregor, Ratna Sarumpaet, Prabowo, Jokowi
Tiga hari yang lalu, saya tidak punya stok celana pendek. Saya terpaksa pakai celana renang. Tau celana renang, kan? Ketat sekali. Wow. Saya terbiasa pakai celana pendek saja saat menjemput anak di sekolah, dan saya sudah di atas motor saat saya ingat bahwa celana pendek saya tidak pantas untuk ke sekolah itu, atau ke sekolah lain, baik sekolah swasta maupun negeri. Karena itu celana renang. Bayangkan jika saya hanya pakai celana renang di sekolah anak saya! Apa yang lain tidak ikut-ikutan pakai celana renang di sekolah yang tidak ada kolam renangnya itu? Untung saya ingat. Saya kembali ke dalam rumah dan memakai celana panjang, di luar celana renang. Celana renang, celana panjang. Begitu urutannya.
Sebelum belokan menuju sekolah, saya terhalang sebuah motor yang berhenti, pengendaranya sedang mengetik pada telepon selulernya. Dia menepi setelah saya klakson dua kali. Saya sempat berpikir bahwa jika sampai klakson ketiga dia belum minggir, saya akan turun untuk mengonfrontasinya. Siang itu panas sekali, saya cukup kesal dan saya lupa bahwa memakai celana renang tidak membuat saya tiba-tiba jadi pandai berkelahi, walau celana saya mirip celana Conor McGregor. Dan secara umum, menyukai olah raga tarung bebas sama sekali tidak berarti saya pandai bertarung bebas.
Malam ini saya main musik di sebuah hotel. Ini lagi istirahat. Sudah makan. Enak. Saya teringat kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, orang yang selalu saya hargai keberanian dan kecerdasannya. Saya tidak pernah keberatan dengan jalan pikiran, sudut pandang dan caranya menyampaikan pendapat. Saya selalu merasa dia kritis dan berisi. Tadi saya baru saja mendengar cerita seorang mantan anak buah Ibu Ratna di teaternya, tentang bagaimana hebatnya beliau ketika melatih dan mengarahkan para pemain. Seorang wanita yang sungguh cerdas, menurut teman saya yang sekarang sangat berseberangan secara politik dengan Ibu Ratna versi akhir-akhir ini. Dan dia memang pemberani.
Ratna Sarumpaet sudah bersikap melawan sejak dulu, dan itu terlepas dari kenyataan apakah orang suka cara melawannya, apakah saya ada di pihaknya atau tidak dalam masa ini. Saya selalu cenderung suka orang yang melawan. Dan berteriak. Saya percaya keseimbangan sebuah negara yang sedang mencari bentuk demokrasi selalu berhutang banyak pada orang-orang yang berteriak, orang-orang yang mungkin tidak akan tercatat atau akan dilupakan sejarah. Beberapa bulan lalu, saya mendengar cerita seorang sound engineer tentang perjuangan Ibu Ratna membawa anak-anak jalanan rekaman di studio.
Ratna Sarumpaet memang dikagumi banyak orang. Itu pantas. Dan jika saya bukan pengagum Ratna, itu tidak berarti yang mengaguminya bukan orang, atau jumlah orang yang mengaguminya tiba-tiba menjadi nol. Dia dikagumi. Itu kenyataan. Saya dapat melihat dengan sangat jelas mengapa banyak orang yang mengaguminya apalagi orang-orang yang secara politik sejalan dengan beliau.
Kenyataan bahwa dia hebat tidak menghilangkan fakta bahwa dia telah melakukan kebohongan yang sangat besar. Saya sangat mengutuk kebohongannya. Membuat gaduh negara ini. Dan dengan mengutuki kebohongannya tidak berarti saya orang jujur. Saya pengagum Ahok, dan itu bukan bukti bahwa saya orang yang bersih, dan jujur. Saya pengagum Bob Dylan dan itu bukan bukti saya penulis lagu yang hebat.
Saya mendengar Ratna Sarumpaet ditangkap. Dia jatuh, dan semua peristiwa kejatuhan selalu membuat hati sedih, entah yang jatuh itu kawan atau lawan. Apalagi jika yang jatuh adalah orang terkenal. Kita mungkin tidak akan banyak menemukan dia lagi dalam pemberitaan, dan karena dia sangat berwarna, maka saya akan merasa kehilangan sebuah warna.
Saya menonton konferensi pers Pak Prabowo. Saya percaya bahwa salah satu alasan Ratna Sarumpaet mengakui kebohongannya adalah rasa sedih melihat begitu hebatnya Pak Prabowo membela teman. Saya juga paham atas kemarahan Pak Prabowo, tetapi mengatakan penganiayaan (yang kemudian ternyata fiktif) itu melukai demokrasi sangat menyedihkan. Seorang yang dianggap aktivis demokrasi dipukul orang bukan bukti bahwa yang memukulnya antidemokrasi. Saya ingat saran Tompi kepada Pak Fahri Hamzah untuk ingat Tuhan, jangan ingat pilpres terus. Langsung mengaitkan penganiayaan Ratna Sarumpaet dengan ancaman bagi demokrasi adalah kekeliruan yang lebih besar daripada langsung percaya bahwa memang telah terjadi penganiayaan. Sungguh mengurangi rasa hormat.
Saya cukup dalam mencermati segala yang terjadi pada negara ini. Pakai hati dan otak. Dan pada sebuah sudut yang tidak ingar bingar, di tengah segala guncangan politik ini, dengan segala haru saya sering ingat Pak Jokowi, yang tetap sibuk bekerja dan melakukan hal yang merupakan bakat terbesarnya: mencintai rakyat Indonesia, dari Merauke sampai Sabang. Sehat selalu, Pak Jokowi.
Mantap ulasannya kaka. Tabr
ReplyDelete