Posts

Showing posts from 2019

All Things Must Pass

Tadi siang, adik saya, Marz, mengirim pesan WA kepada saya, bahwa dia baru selesai nonton The Irishman . Semacam merekomendasikan film itu untuk saya. Saya kaget, karena saya juga sedang nonton film itu. Dan memang, itu film bagus sekali. Bagus sekali. Sama seperti saat menonton film hebat lainnya, di seperempat bagian terakhir saya mulai takut menyelesaikan film itu. Saya mencari kegiatan lain untuk menunda terpisahnya saya dengan film itu. Karena sudah merasa terikat. Dan, malam ini, semuanya berlalu, karena semua hal harus berlalu, kan? Persis seperti isi lagu George Harrison yang berjudul "All Things Must Pass". Berlalunya film itu membawa perasaan sepi yang mencekam sekali, mungkin karena di rumah ini tinggal saya yang belum tidur. Bagian terakhir yang lebih banyak diisi cerita hari-hari terakhir Frank Sheeran (Robert de Niro) sebelum "pergi" sungguh membekas. Dan celakanya adalah saya mengaitkannya juga dengan kenyataan bahwa de Niro sudah tua, lahir 1943....

Krontjong Toegoe di Ranah Minang

Kami main di Pacific Indian Ocean Music Fest di Padang Sabtu malam, 26 Oktober. Sejak mendarat pagi sehari sebelumnya, di pinggir jalan-jalan di kota Padang tidak ada penjual durian. Sama sekali. Saya gelisah dan agak malu pada diri sendiri bahwa yang saya gelisahkan justru durian, bukan sound system , bukan panggung, bukan alat-alat musik. Mungkin karena saya percaya saja bahwa kami akan tampil mantap. Teman-teman lain tidak mempermasalahkan absennya durian di kota Padang. Sama sekali. Dan betul. Penampilan kami cukup sesuai dengan harapan. Harapan siapa? Harapan kami, tentu saja. Kalau ada yang berharap kami tampil spektakuler dengan cara melompat-lompat gila hingga buka baju dan terjun dari panggung, terserah. Tidak kami lakukan! Persetan. Salah satu bukti yang saya serahkan pada diri sendiri soal penampilan kami adalah kenyataan bahwa saya menikmati pertunjukan kami hingga tidak berpikir soal durian. Sama sekali. Hari Minggu pagi kami berangkat, singgah di sebuah pasar besar un...

Krontjong Toegoe di Malaka

Image
Jam 6 sore kurang sedikit, Krontjong Toegoe harus berhenti sound check , karena misa di kapel di dalam kompleks Medan Portugis sudah dimulai. Sabtu yang indah di kampung Portugis di Malaka, kira-kira dua setengah jam perjalanan dengan bus dari Kuala Lumpur. Saya dan Eko, pemain cello kami, tidak ikut misa itu, karena berencana untuk misa pada Minggu pagi esoknya. Hotel Temasek, tempat kami menginap terletak tidak jauh dari lokasi acara Festa de San Pedro, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh komunitas keturunan Portugis  di Malaka untuk menghormati San Pedro (Santo Petrus), yang merupakan santo pelindung para nelayan. Hingga pertengahan abad yang lalu, orang-orang keturunan Portugis di Malaka sebagian besar bekerja sebagai nelayan, dan nyaris semua orang dewasa di daerah itu terlibat dalam industri perikanan. Cara hidup masyarakat di sini sejak jaman Portugis tetap terjaga dengan baik. Pemerintah mendukung hal itu. Dapat saya katakan, pemerintah Malaysia bisa ...

Tak Ada Gading yang Tak Retak

Tadi saya naik kereta, turun di Kalibata. Lalu naik ojek menuju tempat ngamen, dengan hati senang. Pertama, tidak macet. Kedua, tukang ojek ramah sekali. Dia sesekali bersiul. Saya selalu suka orang yang bersiul saat bekerja. Sepanjang perjalanan dia banyak cerita soal telapak tangannya yang sering berkeringat secara berlebihan. Saya juga cerita soal tangan saya yang terlampau kering dan nyaris tidak pernah berkeringat, hal yang membuat jari licin, sehingga saya selalu menjilat jari saya supaya basah, agar pick gitar tidak jatuh. Saya suka tukang ojek ini. Dia bekerja dari pagi, tapi kebugaran fisik dan mood -nya seperti orang yang baru keluar rumah setelah sebelumnya mandi dan makan kenyang. Seorang pejuang yang mencintai pekerjaan. Saya selalu bahagia bisa bertemu dengan jenis orang seperti ini: sebagai penghibur hati dan sumber pelajaran hidup. Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Saya sangat tersiksa dengan helm yang saya pakai.  Bagian depannya sangat turun, posi...

Krontjong Toegoe di Tokyo: Part 2

Image
Saya ingin sekali bertemu dengan Maria itu di Jepang. Saya lupa nama belakangnya. Maria siapa, ya? Hehehe. Ingin melihat langsung wajahnya. Tapi sampai hari kedua hingga malam selesai, belum kesampaian juga. Sedikit kecewa, tapi mengenang bagaimana kami mengisi hari itu membuat saya tersenyum. Dari penginapan di daerah Musashi Koyama, kami memakai sepatu hitam resmi untuk penampilan hari kedua sebagai penampilan utama kami di Tokyo. Sore yang cerah. Kami terlihat gagah sekali, apalagi atasan yang akan kami pakai adalah beskap Betawi. Lalu, tampilnya di hotel Gajoen yang merupakan salah satu hotel terbaik di Jepang. Siap tempur. Sampai di hotel yang dibangun pada 1935 dan dulu dikenal sebagai Istana Dewa Naga itu, saya terkagum-kagum. Di atas semua kekaguman akan tata ruang dan keindahannya, saya merasa bahwa orang Jepang adalah orang yang berdedikasi sangat tinggi untuk apa saja yang dikerjakannya. Semua terlihat indah, rinci...

Krontjong Toegoe di Tokyo

Image
Kami, Krontjong Toegoe mendarat di Bandara Haneda, Tokyo pada jam 6.30 pagi tadi setelah tujuh jam membelah langit ke arah timur laut dari Jakarta. Suasana saat mendarat di sebuah kota sangat memengaruhi kesan terhadap kota itu, ternyata. Karena kami mendarat di dalam hujan dan kabut, saya mendapatkan kesan sendu tentang Tokyo, apalagi hujan terus turun hingga sore hari, dan gerimis masih sesekali turun saat kami mengisi acara di SRIT, Sekolah Republik Indonesia Tokyo, tadi sore. Acara yang berlangsung informal tersebut adalah dalam rangka menghibur orang-orang Jepang yang menyukai keroncong, orang-orang yang jauh lebih menguasai lagu "Bengawan Solo" dibanding "Kokoro No Tomo". Acara utama terkait kedatangan kami baru akan berlangsung besok malam di sebuah hotel. Itu dalam rangka peringatan hubungan Jakarta dan Tokyo sebagai sister cities . Hujan yang turun membuat kami tidak bisa melihat biru langit yang istimewa pada negara dengan empat musim, hal ...

Lompong Cama

Kami sound check di Lapangan Motang Rua, Ruteng, sekitar jam 2 sore pada 6 April yang cerah. Angin di Ruteng nyaris selalu dingin dan sore itu pun demikian. Banyak cara melawan dingin di Ruteng. Kami memilih salah satu cara, yang mungkin tidak perlu saya ceritakan di sini. Saat saya dan band Ponggo's Squad mulai memburu sound masing-masing, Yoliz, gitaris, belum mendapatkan ampli. Band ini memang tidak biasa komposisinya. Termasuk saya, ada tiga gitaris. Kami bertiga main elektrik, jadi perlu ampli, tidak maksimal jika satu di antara kami hanya menggunakan DI box . Kami coba memainkan beberapa lagu. Saya merasa sound system enak. Saat semua sudah menemukan sound masing-masing, kami mencoba memainkan "Lompong Cama". Saat mendekati bagian akhir lagu, ketika sampai pada lirik " lonto cama weta nara" , saya berhenti nyanyi karena tiba-tiba ingin menangis. Entah mengapa, akhir-akhir ini, bagian itu selalu menyentuh saya lebih dari bagian lain di lagu itu, ...